Di pagi hari, tepatnya jam 08.00 WIB, suasana langit memang terlihat
lebih lesu, muka yang menor akan
polesan bedak berwarna kecokelatan, terlihat benar seolah-olah langit tak akan
mampu lagi untuk membendung gelora air
yang Memang berkumpul sedari azan fajar dikumandangkan.
“srek…srek” nada yang keluar dari sepatu salah satu mahasiwa Fakultas Adab
yang tengah melintas ruang hampa diantara dua bangunan yang kokoh, masjid dan gedung Fakultas Adab,
sehingga tak terelakkan nada pun keluar begitu keras seolah merobek suasana
pagi yang memang di saat itu masih sepi dari lalu lalang mahasiswa.
Ia pun tiba dan merebakkan badan di selasar barat bagian utara yang termasyhur menjadi tempat favorit nogkrong bagi anak Adab, khususnya Prodi Sejarah dan Kebudaan Islam.
Ia pun tiba dan merebakkan badan di selasar barat bagian utara yang termasyhur menjadi tempat favorit nogkrong bagi anak Adab, khususnya Prodi Sejarah dan Kebudaan Islam.
“ rif, ujian bahasa Arab, sudah
siap belum?” sahut Anil dari selasar
timur dengan berjalan sambil membelah rambutnya yang tersohor di fakultasnya untuk
mendekat kepada arif.
“ oh , gampang. Kan semalam sudah belajar. Lagian Bahasa Arab memang
kesukaanku, ku tak merasa bingung untuk nanti ujian jam 09.00.” celoteh arif
dengan tenang dan santai, sembarii menggapai tangan anil yang menjulur untuk
berjabat tangan .
“ bagus……. Kalau gitu saya pesen satu sampai sepuluh jawaban.” Tanggap
anil
“ hahahahaaaaa”. Kelekar keduaya.
“ ya.. , rif saya ke kamar kecil dulu.”
“ oh, ya,” jawab Arif.
Tepat setelah Anil masuk ke kamar kecil, Opik, Nazmy dan Yuli pun datang
dari arah selatan,
“ rif sendirian wae” sahut Opik dengan logat Sundanya yag khas, yang
diikuti senyum oleh ketiganya.
“ Iya, neh… pak ustadz” tambah Nazmy dengan iringan lesungan yang
melengkung di pipinya.
“ oh… biasa Pik. Tadi kirain jam 08.00, masuknya. Eh,.. ternyata jam
09.00.” jawab Arif dengan sedikit berdusta.
“ beneran nih, yuk kita belajar bahasa arab bareng yuk. Beneran nih,
saya masih bingung dengan materi yang akan keluar nanti.” Pinta Yuli dengan
muka memelas.
“ oh, kamu dosenya beda sih sama kami” kata Nazmy
“Iya, kalau kami pak sugeng, enak loh orangnya,” tambah Opik.
“ oh, gitu ya, Pak Mardjoko juga tidak kalah seru, buktinya tiada hari
tanpa ceria dan tertawa setiap belajar denga beliau”. Jawab Arif tak mau kalah.
“ haha, betul” tambah Yuli.
“ he-he, ada pa nih ribut-ribut” sahut Anil dari arah timur seolah tak
mau ketinggalan momen tersebut.
“ oh, ya nil, gimana sudah dapet tamir belum?”. Tanya Yuli dengan penuh
rasa penasaran
“ oh, ya, saya belum dapat, dan kayaknya ga ada yang mau Yul”.
“ aduh, kok gitu sih. Gimana ya?, padahal Cuma kurang satu lagi nih.”
“ oh, iya Yul saya juga gak dapat tuh?” ucap Opik seolah tak mau
ketinggalan melapor
“emang, untuk masjid mana sih yul.” Tanya nazmy
“ masjid deket UPN,”
“ oh , jauh juga ya. Terus fasilitasnya pa ja? Cecar Nazmy
“ masjid dan yang ada di dalamnya lah, hahaha”. Sahut Opik
“ gimana kalau arif saja, ayolah…! Mau kan?” pinta yuli
Arif pun terhenyut seolah tak ada
langkah mengelak, sebab semua pandangan seolah tertuju padanya.
“ kalau saya yang jadi ta’mir, apa pantas? Ta’mir sendiri asal kata dari
bahasa arab, yang artinya meramaikan. Bagaimana saya bisa meramaikan sesuatu
yang lain sedang diri, jiwa, dan hati saya masih kosong. Artinya saya tidak
bisa meramaikan diri sendiri.”
“ gimana rif?” Tanya Yuli, seakan membuyarkan lamunan Arif yang sedari
tadi masih bergumam dengan dirinya sendiri.
Dengan menghembus nafas yang
panjang ia pun berkata” oh , maaf Yul, kayaknya ga bisa. Hehehehe” jawab Arif sembari
diiringi senyum menghindar.
Lebih lanjut ia bergumam dalam hatinya.” Bagi ku ta’mir itu tidak harus di
masjid, yang penting ia mampu untuk meramaikan dirinya dengan nilai- nialai
Islami. Masjid di sini, saya tafsiri sebagai semua tentang sesuatu yang baik,
jadi bukan masjid sebagai tempat. Dari sinilah aku menolak tawaran itu. Saya
lebih suka untuk menjadi ta’mir diri sendiri dan selain masjid. Karena di
tempat-tempat lain masih banyak yang membutuhkan ta’mir-ta’mir yang bisa
meramaikan mereka dengan aturan dan nilai masjid ( symbol kebaiakan) seperti di
sector pemerintahan, perdagangan, dan sarana umum lainnya. dan terutama disektor yang disebut pertama , karena memang
menjadi ladang subur korupsi, sesuatu yang bertolak belakang dengan nilai-nilai
masjid.”
“huhf”, nafas Arif , sambil beranjak dari tempat duduknya, bergegas
mengikuti teman-temannya menuju kelas untuk memulai ujian yang tinggal beberapa
menit lagi.
Krapyak,18-nov-2011.
0 komentar:
Posting Komentar