Kamis, 17 Januari 2013

Aliran Mu'tazilah

A.    SEJARAH LAHIRNYA MU’TAZILAH
          Secara harfiah kata mu’tazilah berasal dari suku kata “i’tazala” yang berarti berpisah atau memisahkan diri. Secara teknis , istilah mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.
Golongan pertama adalah muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini yang bersikap netral terhadap pertentangan politik terutama antara ali dan lawan-lawan politiknya ( muawwiyah, abdullah bin zubair, dan sebagainya). Karena kelompok ini bbersikap menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Inilah yang disebut sebagai mu,tazilah satu.
Golongan kedua adalah muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan khowarij dan murjiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini lahir karena berbeda dengan kelompok sebelumna tentang pemberian status kafir pada orang yang berbuat dosa besar.[1]
Dengan demikian , Mu’tazilah  yang kedua lah yang akan kita kaji pada makalah ini, yaitu mu’tazilah yang lahir sebagai aliran teologis. Walaupun kita ketahui bahwa perkembangan selanjutnya aliran ini juga berorientasi pada masalah politik, sebagai bukti bahwa aliran ini menjadi madzhab resmi dinasti abbasiyyah pada masa kholifah al-Ma’mun , al-Watsiq dan al-Mu’tasim. Sebelum akhirnya di ganti oleh kholifah al Mutawakkil kembali kepada madzhab ahli sunnah( sunni).
B.   ASAL USUL NAMA MU’TAZILAH
       Ada banyak pendapat untuk mengetahui asal- usul nama Mu’tazilah. Berbagai pendapat para ahli diajukan, namun tidak ada kata sepakat  antara meraka,sehingga kita sulit untuk mengetahui yang sebenarnya. Tapi, yang jelas ialah nama Mu'tazilah sebagai designatie bagi aliran teologi rasionil dan liberal dalam islam, timbul sebagai peristiwa Washil dengan Hasan al-basri.[2]peristiwa itu terjadi  antara Washil bin Atha, Amir bin Ubaid, dan Hasan Al-Basri di Basrah. ketika keduanya mengikuti pelajaran yang diberikan oleh al-Basri di masjid basrah, datanglah seorang yang bertanya mengenai pendapat hasan al-basri, tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al-Basri masih berfikir, Washil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan,” saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah muknin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak muknmin dan tidak kafir”. Kemudian washil menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri dan pergi ke tempat lain dii lingkungan masjid. Di sana Washil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al-Basri berkata,”i’tazala anna washil ( washil menjauhkan diri dari kita)”.namun demikian  dalam penamaan tersebut banak ahli yang mengatakan bahwa pemberian nama mu’tazilah pada kelompok ini diberikan oleh lawan-lawanya.akan tetapi jika kita kembali pada ucapan-ucapoan mu’tazilah itu sendiri  akan kita jumpai di sana keterangan-keterangan  yang dapat memberi kesimopulan bahwa mereka sendirilah yang memberi nama itu  atau sekurang-kurangnya mereka  setuju dengan nama teresbut
Dengan demikian mereka tidak memandang nama Mu’tazilah  itu sebagai nama ejekan .selain dengan nama Mu’tazilah golongan ini juga dikenal dengan nama lain ,antara lain:Ahlu al-Adl (golongan yang mempertahankan keadilan tuhan ), Ahlu al-Tauhid wa al-Adl (golongan ang mempertahankan keesaan murni dan keadilan tuhan), Wa’idiah, dan al-Mu’athilah.
C.     AJARAN-AJARANNYA
Ajaran-ajaran mu’tazilah dikenal dengan nama al-Ushul al-Khomsah (lima ajaran dasar mu’tazilah), yaitu al-Tauhid , al-Adlu, al-Wa’ad wa al-Wa’id , al-manzilah baina al-manzilatain, al-Amru bil ma’ruf wa al-Nahyu ‘an munkar .[3]
v  Al-Tauhid.
Al-Tauhid merupakan prinsip utama dan intisari ajaran mu’tazilah .bagi mu’tazilah tauhid memiliki arti yang spesifik.Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaanNya .tuhanlah satu-satunya yang Esa, yang unik dan tak ada satupun yang menyamainya .oleh karena itu hanya dialah yang qadim.bila ada yang qadim lebih dari satu , maka telah terjadi Ta’adud al-Qudama’ (berbilangnya Dzat yang tak berpermulaan).
Konsekuensi dari pengertian diatas maka ada tiga point yang muncul :
1.peniadaan sifat-sifat Tuhan, penggambaran fisik Tuhan
2.kemakhlukkan  Al-Qur’an
3.Peniadaan melihat Tuhan dengan mata kepala
v  Al-Adlu
Al-Adlu merupakan sifat yang paling gamblang untuk menunjukkan kesempuraan. Karena Tuhan maha sempurnah maka dia sudah pasti adil.ajaran ini bertujuan untuk menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia. Tuhan di pandang adil apabila bertindak hanya yang baik (Ash-sholah ) dan terbaik (Ashlah) dan bukan yang tidak baik.begitu pula Tuhan iotu adil bila tidak melanggar janjinya.dengan demikian Tuhan terikat dengan janjinya.
Ajaran tentang keadilan ini berkait erat dengan beberapa hal, anta lain berikut ini:
1.    Perbuatan manusia
     menurut mu’tazilah  manusia melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri,  terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan baik secara langsung ataupun tidak.
2.    Berbuat baik dan terbaik
Maksunya adalah kewajiban tuhan berbuat baik, bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan tidak mungkin berbuat jahat dan aniaya karena akan menimbulkan kesan tuhan penjahat dan penganiaya,sesuatu yang tidak layak bagi tuhan.
3.    Mengutus rosul
Mengutus rosul adalah kewajiban tuhan kepada manusia karena alasan-alasan berikut.
                 I.            Tuhan wajib berbuat baik kepada man[4]usia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali dengan mengutus rosul kepada mereka.
               II.            Alquran secara tegas menyatakan kewajiban tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia ( Q.S. As-Syuara 26)
            III.            Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Sehingga diutuslah rosul.
v  Al-wa’du wa al-waid
Merupakan kelanjutan dari ajaran kdua di atas. Tuhan tidak akan disebut adil, jika ia tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan jika tidak memberi hukum bagi orang ang berbuat buruk.
v  Al-manzilah bain al-manzilatain
            Orang berbuat dosa besar bukanlah kafir, karena ia masih percayakepada tuhan dan nabi muhammad, tetapi bukanlah mu’min karena imannya tidak lagi sempurna. Karena bukan mu’min, ia tidak dapat masuk surga, dan karena bukan kafir ia tak mesti masuk surga. Ia seharusnya di tempatkan di luar surga dan neraka.inilah  sebenarnya keadilan. Tapi karena di akhirat tidak ada tempat selain surga dan neraka, maka pembuat dosa besar, harus dimasukkan ke dalam salah satu tempat ini. Ang tentunya erat kaitannya tentang iman dalam penentuan tempat ini
v  Al-amru bi al-ma’ruf wa nahyu ‘an al-munkar
              Kewajiaban ini tidak berlaku pada golongan mu’tazilah saja, tapi juga berlaku pada golongan lainnya. Namun perbedaannya terdapat pada tataran praksisnya, apakah perintah dan larangan cukup dijalankan dengan penjelasan atau seruan saja, ataukah perlu diwujudkan dengan paksaan dan kekerasan.
D.TOKOH-TOKOH MU’TAZILAH
            Tokoh-tokoh mu’tazilah banyak sekali , tetapi sebagian saja yang disebutkan , yaitu yang nampak dan jelas peranannya dalam perkembangan aliran mu’tazilah, baik berupa buah pikiran maupun usaha lainnya.
a. Wasil bin ‘Ata al-Ghazzal (80-131 H atau 699 M)
            Ia merupakan pendiri aliran mu’tazilah dan yang meletakkan ajaran-ajaran ang lima dan yang menjadi dasar semua golongan Mu’tazilah.
b. Abu al-Huzail al-Allaf (135-226 H atau 753-840 M)
             seorang pemimpin aliran Mu'tazilah basrah.ia mempelajari buku-buku yunani dan banyak terpengaruh  dengan buku-buku itu.karena dialah Mu'tazilah mengalami perkembangan yang pesat.
c.Ibrahim bin Sayyar an-Nazzam (Wafat 231 H atau 845 M)
           ia adalah murid dari abu al-Huzail al-Allaf, orang yang terkemuka , lancar bicara, banyak mendalami filsafat  dan banyak karangannya.
d. Muammar bin Abbad as-Sulmay (Wafat 220 H atau 835 M)
e. Bisyr bin al-Mu’tamir(Wafat 226 H atau 840 M)
f. Jahiz Amr bin Bahr (Wafat 255 H atau 808 M)
                              DAFTAR PUSTAKA
Rozak, Abdul , M.Ag., Ilmu kalam, Pustaka setia, bandung, 2001



[1]  DR. Abdul Rozak, M.Ag Dkk, Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia, 2009. Hal 77
[2]  Teologi islam
[3] DR. Abdul Rozak, M.Ag. dan DR, Rosihan Anwar, M.Ag. ilmu kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2001. Hal 80.

0 komentar:

Posting Komentar