Kamis, 17 Januari 2013

Jahuri, Pengajar Ngaji Sejati



   Jahuri, itulah nama saya, nama yang sangat pendek sekali karena hanya terdiri dari satu kata. Kalau saya menebak-nebak bahwa jahuri ini dari bahasa arab yang kurag lebih memiliki arti mutiara, atau mungkin isi/ konten. Ya munkin orang tua saya megharapkan agar saya kelak seperti sebuah mutiara, walaupun kecil ( baik bentuknya, ataupun ditempatkan di wadah yang kecil/ tak berharga tapi tetap memiliki nilai jual yang fantastis). Ketika saya melihat catatan Kartu Keluarga ( KK) tertulis bahwa saya terlahir pada tanggal  07  Juni 1958 di desa Dukuhwidara kecamatan Pabedilan , kabupaten Cirebon
. Desa ini merupakan perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah yang dibatasi oleh aliran sungai Cisanggarung, sehingga bisa dipastikan mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, karena keberadaan sungai tersebut. Cirebon kental akan tradisi-tradisi ke-NU-annya, bagitu juga di desa tempat Ayah lahir. Sehingga beliau lahir dalam lingkungan yang  yang kental akan tradisi-tradisi seperti Tahlil, Shalawatan, pembacaan Barzanji/ Sirah Rasulullah, dan lain-lain. Tradisi-tradisi itulah yang  sering saya dapatkan  dari orang tua dan tokoh-tokoh masyarakat sekitar saya . Ayah saya bernama Makali seorag petani yang sangat sederhana sekali, sehari-hari hanya mengadalkan sawahnya yang mungkin luasnya hanya beberapa petakan kecil, namun beliau tetap sabar untuk menggarap tanah sawah tersebut, karena memang hanya mengadalkan itu untuk bisa menghidupi istri dan lima orang anaknya. Sedangkan ibu saya bernama Tasmi, nama yang begitu simpel juga. Sehari-hari ia bekerja layaknya seorang istri-istri di kampung atau desa pada umumnya, yaitu yang biasa familiar dengan istilah, kasur, dapur, sumur,  namun ketiga hal tersebut tidak cukup untuk mewakili aktivitasnya sebagai seorang istri dari ayah saya, karena ia juga bekerja di sawah, mencari rumput untuk ternak, mencari kayu bakar dan kegiatan rumah lainya, bahkan kalau dikalkulasi antara kegiatan ayah dan ibu, sudah jelas kegiatan ibu sangat padat merayap. Namu walaupun begitu, ibu tetap tawaddu’ pada ayah, sehingga saya berani menjamin bahwa beliau adalah seorang istri yang sholihah dan menjadi ibu yang sangat baik bagi anak-anaknya. Selain saya, keduanya memiliki empat putra yang lain, yaitu Qodir, Mu’in, Riwes, dan Sawar. Total, beliau berdua memiliki lima anak, sedangkan saya merupakan anak kedua dari lima bersaudara tersebut.
Saya dan keluarga hanya tinggal di dalam rumah yang sangat sederhana, yang semuanya terbuat dari kayu. Dengan luas rumah tujuh  meter x dua belas meter, dan hanya memiliki tiga kamar ditambah dapur. Perlu diingat bahwa ketika itu tahun 1970-an yang mana kondisi Indonesia masih sangat sederha, berbeda dengan kemajuan yang ada di abad dua puluh satu ini. Sehari-hari kami hanya makan dua kali, pagi dan petang. Dan kami sekeluarga pun memaklumi kondisi tersebut, dan tentunya kami menerima hal ini seperti apa yang dikataka ayah bahwa seyogyanya kita menerima apa saja yang telah diberikan Gusti Allah kepada kita. Ya begitu lah ayah dalam medidik kami penuh dengan nilai-nilai religiusitas, sehingga kami pun merasa nyaman dengannya.
Telah disebutkan diatas bahwa saya terlahir dari keluarga petani, maka dapat dipastikan kehidupan saya penuh dengan kesederhanaan seperti para petani pada umumnya. Sikap kesederhanaan dan  “ketelatenan” itulah yang membentuk karakter saya. Kami pun tak menuntut lebih dari orang tua, waktu itu mungkin kami hanya memiliki tiga sampai empat baju saja. Satu buat sekolah, ngaji, dan dua untuk main. Tapi apalah artinya kemewahan yag orang-orang dambakan, karena kami merasa nyaman dan bahagia dengan kondisi ini, dan tentunya teman-teman sebaya kami pun merasakan hal yang sama dengan kami. Itulah desa atau kampung, yang memiliki kebahagiaan tersendiri bagi penduduknya.
Ketika usia saya tujuh tahun, saya memiliki idealisme yang tinggi untuk bisa mengennyam pedidikan yang tinggi. Dan alhamdulillah, saya didaftarkan oleh ibu di Sekolah Rakyat. Tujuan bersekolah pun tidak muluk-muluk, yaitu hanya ingin meghilangkan kebodohan yang ada di dalam diri saya dan tentunya bisa bersenang-senang dan bermain bersama dengan teman-teman di sekolah. Namun seiring berjalannya waktu, ketika sudah berjalan satu setengah tahun, kondisinya berubah, ekonomi keluarga sangat lemah, sehingga memaksa saya untuk tidak melanjutkan bersekolah. Sehingga tercatat bahwa saya dalam mengenyam pendidikan formal hanya bisa sampai di kelas 2 SR ( Sekolah Rakyat), itupun tidak sampai tamat- alias berhenti di tengah jalan- alasan saya untuk berhenti bersekolah, yaitu saya lebih memilih untuk membantu orang tua mencari pundit-pundi rupiah, dengan berbekal keringat dan tenaga, saya bekerja sebagai buruh/ kuli potong dan tanam tebu. Profesi ini yang saya geluti   sebagai pengganti dari duduk manis di bangku sekolah. Menjadi seorang kuli tebu, itulah status saya  yang baru, yang menggantikan status sebelumya, yaitu pelajar atau siswa. Seorang kuli tebu butuh perjuangan ekstra kuat, sebab jarak antara rumah dan lahan tebu sekitar 4 sampai 5 Kilometer, hal itu ditempuh dengan berjalan kaki. Namun kebiasaan ini merata dilakukan oleh anak pada umumya pada waktu itu dan hanya segelintir orang yang merasakan pendidikan cukup tinggi. Bisa dibayangkan betapa masih lemahnya perekonomian bangsa ini pada tahun 70-an tersebut. Dalam kesehariannya sebagai kuli tebu, biasanya saya berangkat kerja setelah Sholat Shubuh dan baru pulag menjelang Ashar. Setelah itu, saya tidak serta merta bisa beristirahat, namun membantu pekerjaan orang tua di rumah, seperti menyapu halaman, memberi makan ayam, bebek, dan hewan peliharaan lainya.   
Namun demikian, walau pun saya bekerja seharian, tapi idealisme untuk menuntut ilmu- khususnya ilmu-ilmu agama- tetap ada dalam diri saya dan hal itu akan terus ada sampai sekarang. Untuk memenuhi idealisme itu, yang bisa saya lakukan ialah ikut mengaji pada K.H. Fattah, beliau adalah salah satu ulama yang terpandang di desanya. Sehingga saya tercatat sebagai santri beliau. Bisa dikatakan bahka K.H. Fattah merupakan satu-satunya orang yang memiliki kefahaman yang mendalam dalam bidang agama Islam ( tafaqquh fi al-diin) di desanya. Karena beliau mondok cukup lama di salah satu pesantren salaf di daerah Banten, sehingga bisa dikatakan bahwa beliau menguasai cukup mendalam tentang ajaran-ajaran Islam. Dari K.H. Fattah saya banyak belajar tentang membaca al-Qur’an, Tajwid, hafalan surat-surat pendek, dan Tahlil serta pelajaran agama lainnya. Ini merupakan potret bahwa pendidikan-pendidikan/ pengajian-pengajian yang dilakukan oleh “kyai desa/ kampung” memiliki peranan yang cukup besar dalam peningkatan sumber daya manusia pada waktu itu, karena mungkin hanya pendidikan itu yang bisa dimasuki oleh orang-orang kalangan menengah ke bawah, dimana si kyai tak menuntut bayaran ( SPP, daftar ulang, dan biaya administrasi lainnya seperti yang ada dalam pendidikan formal), karena yang penting bagi seorang kyai adalah ketekunan dan keikhlasan santrinya untuk menuntut ilmu agama sudah lebih dari cukup daripada besaran rupiah yang akan ia dapat. Sikap inilah yang seharusnya dimiliki untuk setiap pendidik, sehingga jiwa profesionalitas dapat tercipta dalam dunia pendidikan.
Setiap sore, setelah saya pulang dari lahan tebu, saya langsung bergegas mandi, dan bersiap-siap berangkat ke pengajian Kyai Fattah, dengan menggunakan sepeda tua, saya melintasi jalan desa di sore hari. Waktu itu masih sedikit sekali rumah yang ada, sehingga yang ada adalah pepohonan yang hijau. Jarak antara rumah ke tempat pengajian bisa ditempuh dengan waktu lima belas menitan. Sesampainya di sana, saya menunggu datangnya waktu Maghrib. Dan terkadang saya yang mengumandangkan adzan Maghrib, karena alhamdulillah Gusti Allah menganugerahi suara yang lumayan merdu kepada saya, sehingga saya dipercaya untuk megumandangkan adzan.
Sesudah berjamaah maghrib, pengajian pun dimulai, baik santri putra maupun putri semua berkumpul di masjid. Satri yang besar ikut mengajari santri yang lebih kecil. Dan ketika pengajian selesai kami biasanya tidak langsung pulang, akan tetapi nongkrong dulu di serambi masjid, ya walaupun tidak lama. kami biasaya saling ngobrol ngalor-ngidul, sembari rehat bahka bagi santri putra sampai bermalam juga di masjid, dan nanti pulang setelah jamaah Shubuh. Hal-hal semacam itulah yang sering kami lakukan, sehingga rasa kekeluargaan terasa begitu kuat di antara para santri Kyai Fattah.
Karena begitu dekatnya baik santri putra maupun putrinya, tidak jarang ada diantara teman kita yang kami jodoh-jodohka sendiri. Walaupu hanya sekedar  canda dan guyonan belaka namu, tidak jarang pada akhirnya mereka benar-benar jodohnya. Ketika itu saya pun kena sasaran teman-teman santri juga. Waktu itu seingat saya, saya dijodohkan dengan santriwati yang namanya Darwi.   
Setelah beranjak dewasa, saya mulai bekerja sebagai buruh tani di desa, menggantikan kuli tebu.  Jenis tanaman yang banyak ditanam oleh masyarakat adalah bawang merah, sehingga dibutuhkan pekerja yang khusus merawat bawang tersebut dari masa awal tanam sampai masa panen. Istilah  yang popular untuk pekerjaa ini ialah “ ngontrak bawang”. Dimana seorang “bos bawang” atau pemilik bawang menyerahkan sepenuhnya tanaman bawangnya kepada pekerjanya untuk digarap dan kemudian ia digaji setelah panen, biasanya sekitar dua setangah atau tiga bulanan. Pada waktu itu saya bekerja pada Pak Warna, ia merupak bos bawang yang cukup sukses. Profesi ini berlangsung cukup lama, sampai nantinya saya menikah dengan Asmanah, profesi ini tetap melekat dalam status saya.
Dari profesi inilah saya mulai untuk hidup membina keluarga. Saya  dijodohkan oleh orang tua dengan  Asmanah,  dia merupakan santri dan sekaligus keponakan Kyai Fattah. Usianya pun lebih muda dari saya, terpaut lima tahun. ketika dulu saya dijodoh-jodohkan oleh teman-teman dengan Darwi, asmanah juga dijodoh-jodohkan dengan Zubair. Namun pada akhirnya, teryata saya berjodoh dengan Asmanah. Saya kagum denga istri saya, karena ia seorang istri yang memiliki tipikal pekerja keras, mungkin karena ia anak sulung dari pasangan Raenoh dan Shoheh, yag keduanya memiliki 10 anak, jadi jiwa kepemimpinannya lebih kuat. Selain itu ia juga memiliki keahlian dalam membuat kueh, seperti lapis, poci, ambon, kukuran, juwadah,  dan makanan khas desa kami  lainnya. Sehigga tidak jarang ia mendapatkan pesanan dari tetangga-tetangganya yang akan memiliki hajatan, seperti selametan, mitung dina, nyatus, mendak, khitanan, nikahan dan lain-lainya. Bahkan tak jarang juga ia diundang untuk menjadi juru masak dalam acara-acara tersebut karena memang selain lihai dalam membuat kue, ia juga pandai memasak. Saya merasa bersyukur memiliki istri seperti dia. Bahkan satu hal yang bikin saya bahagia pula, bahwa ia terlahir dari keluarga yang memiliki perhatian yang cukup besar terhadapa agama, sehingga ia pun saya yakin memiliki kepribadian yang baik. Ia sering berpuasa sunnah Senin-Kamis, membaca al-qu’an lancar, dan selalu hidup sederhana. Dari pernikahan ini kami dikaruiahi enam anak, yang terdiri dari dua putri dan empat putra, yaitu Fatimah, Saropah, Kamali Rodad, Abdurrahman, Jamaluddin, dan yang terakhir Abdul Ghofar.
Disadari atau tidak, bapak warna sangat sayang kepada saya, mungkin karena memang  pekerjaaan saya dianggap olehnya sangat baik. Hal ini terbukti, ketika saya hendak  memperbaiki rumah, beliau menghibahkan “tekel” untuk dipasang sebagai lantainya. Walaupun sekarang tekel jarang dipakai karena kalah pamor dengan keramik, namun pada waktu itu rumah yang lantainya menggunakan tekel bisa dihitung dengan jari.dan banyak lagi bantuan yang sering beliau berikan kepada kami.

Telah disebutkan bahwa pedidikan yag kudapatkan dalam sekolah formal hanya sampai kelas dua Sekolah Dasar, karena selanjutnya diriku disibukkan dengan membantu orang tua untuk bekerja sekedar yang saya bisa. Namun pedidikan agama­ -yang memang  dalam keluarga saya mendapatka prioritas lebih banyak-  tetap saya dapatkan  dengan megabdikan diri saya sebagai santri Kyai Fattah, kyai yang memang kesohor akan  kedalaman ilmu agamanya. Saya tidak tau pasti kapan saya mulai menjadi santri beliau, tapi yang pasti bahwa saya mendapatkan ajaran dan pendidikan agama dari beliau sejak saya kecil, entah usia  tujuh, delapa, atau mungkin sembila tahun. Materi yang diajarkan beliaupun tidak muluk-muluk, pada awalnya kita diajari bagaimana membaca al-qur’an yang baik dan benar, dalam artian sebisa mungkin melafalkan al-Qur’an dengan fashih, dan makhroj yang tepat. Metode yang digunakan pun ialah musyafahah , yaitu dimana murid dan guru berhadap-hadapan secara langsung, kemudian murid membacakan al-Quran dihadapan gurunya, sedangkan gurunya memperhatikan bacaan yang keluar dari mulutnya sembari memperhatikan gerak-gerik mulutnya apakah sesuai denganya atau tidak. Hal itu saya ulangi dan lakukan berkali-kali setiapa hari, kecuali pada malam jum’at, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa  hari itu kegiatan pengajian libur, dan diganti dengan pembacaan Barzanji, Shalawatan, Jamiyahan, Yasinan dan lain-lain. Saking seringnya saya mengaji maka al-hamdulillah saya pun dapat mengkhatamkan al-Qur’an dengan cepat. Seperti tradisi yag ada ketika santri telah mengkhatamkan al-Quran maka ia disuruh untuk membantu gurunya mengajari santri-santri yang lainnya , yang jelas mereka yang kemampuan membacannya belum baik, seperti sering lupa hurufnya, panjang pendeknya, atau mungkin yang tidak tahu sama sekali. Tujuannya agar ketika mengaji kehadapan kyai Fattah paling tidak tinggal melancarkan bacaannya.
Hari demi hari saya ikut mengajari adik-adik santri yang kurang bisa membaca al-quran, bahkan hal itu dilakukan sampai menjelang pernikahan saya dengan Asmanah. Ketika saya menikah dengan Asmanah, maka secara tidak langsung saya jarang untuk mengajar ngaji di tempat Kyai Fattah, karena saya harus mengurusi keluarga dan saya juga disuruh mengajar ngaji di mushalah Darul Jalal. Musholah ini sepenuhnya berada dalam keluarga kyai Raji yang digunakan untuk umum. Kyai Raji sendiri merupakan kakak dari ibu saya, sehingga biasa saya memanggilnya denga “Uwa”( atau Pakde dalam bahasa Jawa). Ukuran  mushollah ini pun sangat  kecil , yaitu sekitar  7x 6 meter yag terbagi atas dua bagian , bagian depan sebagai shaf bagi jamaah laki-laki dan bagian belakang sebagai shaf untuk jamaah putri. Di dalamya terdapat tumpukan al-Qur’an, dan diluar terdapat kentongan yang digunakan sebagai penanda waktu shalat sebelum adzan dikumandangkan.
Pada awalnya saya menolak untuk mengajar ngaji di musholah Darul Jalal ini, karena memang saya merasa tidak pantas untuk menjadi ustad di musholah tersebut, selain dikarekan kemampuan keagamaan saya yang minim, di sana juga terdapat orang-orang yang memang selayaknya lebih pantas, karena mereka mendapat pendidikan agama dari pesantren, atau yang biasa disebut denga istilah mondok. Namu saya juga tidak bisa menolak kepercayaan yang begitu besar yang diberikan warga setempat untuk menitipkan anaknya kepada saya agar sekedar diajari membaca al-qur’an  yang baik. Maka denga niat lillahi ta’ala  dan membagi-bagi ilmu yang saya dapatkan dari kyai Fattah, maka saya pun mulai mengajari anak-anak disekeliling untuk belajar mengaji al-qur’an. Dari mereka ada yang belajar qur’an gedhe, IQRA, dan juz amma.
Ada satu hal lagi yang paling pentig bagi saya, kenapa saya mau mengajari mereka mengaji, yaitu saya hanya ingin anak-anak yang ada di sekitar saya ialah mereka yang bisa dan lancar mengaji al-qur’an. Karena bagi saya al-Qu’an wajib bagi kita untuk membacanya, mengamalkan isinya. Nah paling tidak point pertama bisa tercapai melalui pengajian saya. Di sisi lain juga mushollah Darul Jalal adalah mushollah satu-satunya di gang kami yang terdiri dari puluhan rumah, sehingga wajib diadakan pengajian di mushollah tersebut.
Ditengah kesibukan saya sebagai seorang yang bermata pencaharian menggarap sawah, atau yang biasa disebut petani. Saya tidak merasa keberatan untuk meluangkan waktu selepas Maghrib untuk mengajari ngaji anak-anak kecil yang tinggal di sekitar mushallah. Metode yang saya gunakan dalam mengajar al-qur’a pun tidak berbeda jauh dengan metode yang pernah saya rasakan ketika menjadi santri Kyai Fattah, yaitu musyafahah.
Seperti biasanya ketika  adzan berkumandang, maka anak-anak segera berdatangan ke mushollah, bahkan ada yang datang lebih awal. Setelah sebelumnya  mereka ribut  dengan urusannya masing-masing di sekeliling mushollah, yaitu bisa ribut karena main petak umpet, sekedar ngobrol , main jentot  dan hal-hal lainya yang serig dilakukan anak-anak, maka segera mereka menghetikan aktivitas mereka dan memasuki mushollah untuk melakukan jamaah maghrib. Sambil menunggu imam, biasanya mereka melantunkan puji-pujian atau sholawatan, biasanya yang sering dilantunkan ialah Sholawat Badar.  Suara gemuruh sholawat mereka pun seolah memenuhi musholah dan bahkan menghiasi heningnya petang. Tatkala imam datang, maka Iqamah pun dikumandangkan  dan secara otomatis mereka membentuk shaf shalat.
Seperti disebutkan di muka bahwa kampung kami kental aka kultur NU, maka setelah sholat, kami melakukan wiridan bersama dengan cara dijahr-kan suaranya yag tentunya dipimpin oleh imam sholat, dari mulai membaca istighfar tiga kali, tasbih, tahmid, takbir dan tahlil. Setelah itu diakhiri dengan  doa oleh imam yang diamini oleh ma’mum. Doa selesai, kita tidak lantas meninggalkan musholah, akan tetapi kami saling mushafahah satu dengan yang lainnya, dengan cara yang kecil mencium tangan yang lebih tua.
Bergegaslah anak-anak ke tempat pengajian selepas sholat jamaah, mereka saling berebut tempat mengaji. Laki-laki di sebelah barat dan perempuan di sebelah timur. Mereka hanya dibatasi sejengkal tempat duduk yang nantinya ditempati oleh saya. Setelah itu pengajian pun dimulai, dan berakhir ketika adzan ‘Isya dikumandangkan. Begitulah sehari-hari yang saya lakukan, kecuali malam Jum’at yang memang sengaja saya liburkan.
Suatu hari kyai Dahlan, putra kyai Raji pulang dari kesibukannya di Jakarta. Biasanya beliau memang pulang sebulan sekali untuk melepas rindu dengan keluarganya yang ditinggal di desa, sekaligus melihat kondisi mushollah peinggalan ayahnya ini. Seperti biasanya ketika ia berada di rumah maka ia mengimami sholat jamaah dan memberi taushiyah setelahnya, dan di akhir tausiyahnya beliau akhiri dengan harapan dan keinginannya utuk bisa bekerja dan menetap di desa ini, karena dengan itu ia bisa lebih konsen lagi untuk meramaikan musholah dengan pengajian dan kegiatan lainnya. Kontan harapan yang ia sampaikan memberi ketenangan bagiku. Harapa saya selama ini yang mengidamkan akan adanya seseorang yang memiliki ilmu agama yang cukup yang mau mengajar agama di musholah ini. Kyai Dahlan adalah salah satu putra kyai Raji, ia pernah belajar agama di pondok pesantren asuhan KH Abdul Malik di desa Panggangsari Cirebon, salah satu kyai yang cukup disegani masyarakat di Cirebon Timur.
Namun saya menyadari bahwa hal ini masih berupa harapan yang masih banyak kemungkinan, mungkin terjadi dan mungkin tidak. Dan pastinya hari-hari selanjutya pengajian tetap dipegang oleh saya. Di tengah penantian atas harapan  kehadiran kyai Dahlan utuk menetap dan mengajar di musholah ini, datanglah ustad Daud, ia santri Kempek yag sudah boyongan dari pondoknya. Kebetulan ketika itu ia menikah dengan Murni, gadis dari gang kami dan keduanya membagun rumah yang persis bersebelahan dengan mushollah.
Masyarakat pun menyambut hal ini dengan baik, mereka memiliki ekspektasi yang tinggi pada ustad muda ini, yaitu agar ia mau untuk meraimaikan mushollah satu-satunya yang ada di gang kami ini dengan kegiatan pengajian khususya, dan syiar Islam pada umumnya. Dawud pun memahami keinginan masyarakat sehingga ia mulai aktif mengisi pengajian di mushollah. Karena pegajian al-Qur’an sudah dipercayakan kepada saya, maka ia memilih untuk mengajar yang lain seperti fikih, aqidah dan lain sebagainya.
Sehari ia mengaji antusias masyarakat semakin tinggi sekali, namun beberapa hari kemudian, masyarakat mulai bosan dan tidak merasa nyaman. Entah mengapa hal itu terjadi. Setelah saya selidiki, ternyata mereka- terutama anak-anak- merasa bahwa ustad Dawud selalu membentak-bentak dalam pengajarannya, bahkan tidak jarang ketika baru sebentar mengajar, ia langsung pulang karena anak-anak ribut terus.  Ustad Dawud akhirnya memutuskan untuk meninggalkan pengajian di mushollah dan membuka pengajian di rumahnya. Seingat saya hanya beberapa santri yang mengaji kepadanya dan kebanyakan dari keluarganya sendiri. Pengajian ini pun tidak berumur lama. Karena setelahnya, Ustad Dawud seolah-olah tak memiliki kepedulian pada pengajian anak-anak di sekitarnya, ia sibuk dengan urusan pribadinya, maka pegajian di mushollah pun tetap saya pegang kembali.
Dawud berlalu maka muncullah ustad Fuad. Ia adalah putra bapak Muharrom, yang merupakan adik dari kyai Dahlan. Fuad sekarang menetap di rumah setelah menyelesaikan pendidikannya mulai dari pondok pesantren di Kali Wungu Kendal, kemudian Buntet Cirebon, dan terakhir di Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta di Fakultas Syariah. Namu saya tidak tahu secara pasti yang ia ambil di jurusannya. Seperti kasus sebelumya bahwa anak muda ini digadang-gadang sebagai penerus keluarga kyai Raji untuk meramaikan majlis pengajiannya, bahka setiap ia pulang dari pondok, ia selalu diberi kesempatan oleh kyai Dahlan untuk sesekali mejadi imam sholat jamaah dan memberi ceramah ala kadarnya saja. Bagi saya ini merupakan sinyal positif, karena kyai Dahlan melakuakan regenerasi dalam kepemimpinan di musholahnya.
Pengajian ustad Fuad pun dimulai, dalam pengajiannya ia memiliki metode pegajaran yang berbeda dari pengajaran yang telah ada. Mungkin karena pengalaman dalam studinya yang malang melitang dari satu tempat/daerah ke daerah lainya, sehingga ia memutuskan dengan menggunakan metode yang menurutnya dianggap lebih baik. Diawali dengan mecoba untuk menjadwal secara sistematis jadwal pelajaran yang akan diajarkan, dan dalam pengajarannya ia hendak menggunakan sistem klasikal, ia berharap  sistem ini akan memberi pengajaran ilmu agama yang lebih baik. Kami merasa kagum padanya, karena ia mencoba menjadikan mushollah ini sebagai lembaga yang mirip dengan pesantren.
Mulailah disebarkannya jadwal kitab yag akan dikajianya, bukan sekedar itu saja, ia juga bekerja sama denga ibunya yang merupakan pemilik dan penjaga took, untuk menyediakan dan menjual kitab-kitab yang ada dalam jadwal pengajian, agar santri-satri tidak kesulitan dalam mencarinya. Entah kenapa juga, ketika semunya telah di setting secara rapih ini, tetapi tidak mendapat sambutan yang baik dari anak-anak, sekali lagi saya pu merasa heran, kenapa hal ini terjadi. Padahal waktu itu kegiatan mengaji sudah saya lepas dan serahkan kepada ustad Fuad, namun karena agenda yang dicanangkan olehnya gagal, maka saya memegang kembali pengajiannya, dan alhamdulillah dapat menarik anak-anak lagi yang ketika pengajaran ustad Fuad dimulai, mereka jarang dan bahkan meninggalkan pengajian dan mushollah sekaligus.
Namun saya tetap memberi apresiasi yang tinggi bagi keponakanku ini, karena sudah barang tentu, kegigihan dan semangat juangnya yang tinggi dalam menciptakan pengajian di mushollah dengan sitem yang baik, walau nantinya anak-anak banyak yang tidak tertarik padanya. Bukan hanya itu saja, ia pun mampu untuk meyelenggarakan acara yang cukup sukses, yaitu perayaan Halal bi Halal Keluarga Besar Ikatan Remaja Mushollah Darul Jalal. Dan perlu diingat bahwa itu lah pertama kalinya diadakan halal bi halal secara meriah di mushollah tersebut, dan itu pula kejadian yang mana pertama kalinya ikatan remaja dibentuk dan aktif. Saya hanya bisa berucap “alhamdulillah”. Dalam acara halal bi halal tersebut ustad Fuad medatangkan K.H. Zein dari kelurahan Ambit Cirebon, bahkan yang lebih hebatnya lagi menurutku ialah setelah acara ini selesai, beberapa hari kemudian ustad Fuad dijodohkan oleh Kyai Zein dengan kemenakannya. Setelah ia menikah dengan kemenakan kyai Zein maka, secara tidak lagsung ia tinggal di desa dimana istriya tinggal, yaitu desa Ambit. Jarak dari desa kami dengan ambit sekitar 1 jam dengan menggunakan sepeda motor. Ya dan akhirnya  ia tinggal sana, dan kabar terakhir yang saya dapatkan bahwa ia diangkat sebagai ustad di sana. Saya pu merasa bersyukur karena ia tetap berjuang di sana, namun saya pun bersedih, karena sekali lagi di mushollah ini sepi dari orang yang berilmu agama yang mendalam untuk mengajar ngaji.
Maka untuk kesekian kalinya, secara terpaksa saya harus memegang kembali pegajian di mushollah. Namun ketika itu saya merasa sedikit lega. Kyai Dahlan yag sekian lama bekerja dan menetap di Jakarta, akhirnya ia pulang kampung dan menetap di desa kami. Namun setelah cukup lama menetap, beliau belum juga bisa merealisasikan harapannya, bahkan ia malah membuka lapak nasi goreng kembali di kecamatan, sehingga ia sibuk dengan bisnisnya ini, apalagi lapaknya dibuka setiap jam 05. 00 sore, otomatis beliau tidak ada di mushollah ketika jam pengajian. Pada akhirnya pun lapak tersebut diserahkan kepada anaknya, karena kondisi fisiknya yang semakin lemah. Terdengar kabar bahwa beliau terkena penyakit paru-paru. Maka kegiatan pengajian tetap saya yang menghandle sedangkan beliau hanya mengimami sholat berjamaah saja.
Pengajian yang biasanya di laksanakan setelah Maghrib, ternyata suatu hari ada kejadian yang aneh. Tatkala saya tidak bisa sholat berjamaah sebab pulang dari sawah agak petang. Saya pun sholat di rumah. Ketika hedak menuju ke mushollah untuk mengajar mengaji tiba-tiba terdengar suara gaduh dan ramai diteras rumah. “ ada apa ini” pikirku, “ kenapa mereka masih rebut di luar, dan tak langsung masuk ke mushollah”. Saya pun bergegas keluar da mendatangi mereka. Ternyata saya dapati mereka sedang kumpul ramai di teras rumah “ lho kok masih di sini” tegurku, “ wa Jahuri,  kyai Dahlan marah tadi, kita tidak boleh ngaji di mushollah”, sahut salah satu dari mereka, “ emang kenapa?” tanggapku, “ tadi kami buat kegaduhan terus, selama sholat jamaah maghrib”, “ ya sudah, ayo masuk ke rumah saja ngaji di sini saja ya” anjurku.
Sejarah pun seolah berubah pada saat itu juga, saya merasa bahwa sekarag saya memiliki tanggung jawab yang lebih besar lagi. Entah kenapa hal ini terjadi pada saya, wong orang-orang tahu bahwa saya ini hanyalah seorag yang hanya bermodal baca al-Qur’an yang boleh dikatakan sedikit lancar, tapi kenapa diberi kepercayaan besar seperti ini, padahal di sekeliling kami banyak orang-orang yang pinter, karena memang mereka pernah mengenyam pendidikan agama di pesantren, dan hal ini berbeda dengan saya yang hanya dapat pendidikan agama dari nyantri kalong kepada kyai Fattah. Tapi dengan niat lillahi taala dan i’tiqad menghilangkan kebodohan dan dengan bismillah tentuya, saya mulai untuk mengajar  mengaji anak-anak yang mau diajar di rumah saya. Rumah yang mungkin sangat sederhana, temboknya sudah mulai melepuh dan hancur sehingga batu bata merahnya nampak jelas. Ditambah lagi dengan penerangan yang boleh dikatakan lumayan terang sedikit, karena plafon rumah hanya meggunakan anyaman bambu sehingga pantulan cahaya pun terasa remang-remang, namun saya melihat hal ini tidaklah mengapa karena antusias anak-anak untuk mengaji sangat tinggi, sehingga ruangan yang digunakan untuk mengaji dengan ukuran sekitar  4x6 ini penuh sesak dengan keberadaan mereka, sekalipun hanya beralaskan tikar jadul, karena memang hanya sekedar menghalangi kontak langsung antara tubuh dengan tekel tua pemberian bapak Warna.
Jadilah akhirnya setiap menjelang Maghrib di halaman rumah ramai dengan hilir mudik anak-anak, ada yang berangkat jam lima sore, ada pula yag berangkatnya ketika pengajian akan dimulai. Keadaan ini berbanding terbalik dengan yang ada di mushollah, karena hanya terlihat sedikit orang saja, itu pun mereka yang dewasa dan tua saja, sedangkan anak-anak usia enam sampai sembilan tahu sibuk dengan aktivitas mereka di halaman rumah untuk menunggu pengajian. Terkadang saya pun meyuruh mereka untuk sama-sama melakukan sholat berjamaah, karena memang anak-anak, sehingga kadang menuruti perintah saya, tapi sering juga melanggarnya. Ya saya memaklumi hal itu.
Pengajian biasanya dimulai dengan membaca al-Fatihah bersama-sama, kemudian disusul dengan “ rabbi israhli shodrii…..( sampai akhir)”, dan tak lupa pula kadang saya mermberi sekedar peringatan bagi mereka yang susah diatur,. terutama mereka yang agak besar dan membandel. Ya sekedar menegur bacaan yang salah ketika melafalkan al-fatihah bersama-sama, atau ketika yang lain membaca dua bacaan di atas, mereka malah terlihat “guyonan” atau ribut sendiri atau bahkan “cekakak-cekikik” dengan temannya. Saya tak bosan-bosannya untuk menegur mereka. Saya teringat dengan  anak-anak saya ketika mereka kecil, betapa seringnya saya marah kepada mereka, karena tingkah mereka yang kadang tidak beraturan. Keenam anak saya ketika kecil antara satu dengan yang lainnya hanya selisih tiga sampai empat tahun saja, sehingga mereka ketika kecil memiliki fostur tubuh yang tidak terlalu mencolok. Namun kenangan itu tinggal kenangan saja karena anak pertama dan kedua, keduanya perempun telah berkeluarga dan sudah memiliki rumah masing-masing. Sekarang tinggal empat anak yang belum menikah yang kesemuanya laki-laki. Akan tetapi dua diatara mereka sekarag tidak berkumpul dengan kami. Abdurrahman, anak keempat kami, sudah dua tahun ia bekerja di Jepang, dan akan kembali setahun lagi insyaAllah, sedangkan yang satunnya ialah Jamaluddin, ia anak kelima kami, dan satu-satunya yang mendapatkan pendidikan agama di pesantren. Karena inilah maka tak jarang saya meminta kepada anak-anak yang mengaji di rumah saya untuk berkirim al-fatihah setiap hari selasa, dikhususkan kepada Abdurrahman, dan setip hari rabu yag dikhususkan kepada Jamaluddin. Hari-hari tersebut merupakan hari kelahiran keduanya.
Keinginan saya untuk bisa memiliki anak yang mondok tercapai juga, yaitu dengan dikirimnya Jamal ke Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, selepas kelulusannya dari MTsN Losari. Saya benar-benar meginginkan agar salah satu dari anak saya ada yang bisa mengaji al-Quran dengan baik dan setidaknya mengerti ilmu agama yang lebih dalam ketimbang ayahnya. Harapan saya pun tidak muluk-muluk, yaitu ketika ia telah menamatkan studinya di pondok pesantren dia bisa mengisi dan menggantikan posisi saya, yang semakin hari semakin menua. Saya anggap ini adalah upaya saya dalam regenerasi pengajian di desa kami, karena saya menganggap betapa pentingnya mengaji bagi anak-anak muda, apalagi di zaman globalisasi seperti sekarang ini, dimana arus informasi begitu cepat menyebar bahkan sampai sudut –sudut pedesaan sehingga di sini saya berharap dengan adanya pengajian setidakya bisa mejadi backing  atau paling tidak filter serta tameng bagi mereka. Karena tidak semua informasi atau hal apapun yang masuk itu merupakan hal-hal yag bernilai positif, bahkan tidak sedikit hal-hal tesebut bermuatan nilai negatif dan dikhawatirkan merusak moral generasi muda.
Maka saya mengharapkan kepada Jamal agar bisa sukses dalam pengembaraan ilmunya, dan semoga ia kelak bisa melaksanakan pengajian yang kini berada di rumahnya, yang tentunya pengajian yang lebih baik dari sebelumnya. Saya pun bersyukur kepada Allah, karena ketika Jamal pergi mondok, kakaknya, Kamali Rodad, juga memiliki gairah menuntut ilmu yang tinggi pula, entah karena ia iri ( yang baik tentunya) atau kenapa, karena setelah membantu saya mengajar ngaji anak-anak, ia langsung bergegas ke desa sebelah untuk mengikuti kajian kitab-kitab kuning, tapatya ia mengaji kepada kyai Nawar.
Berkali-kali saya mengucapkan syukur kepada Allah atas kebahagiaan ini. Saya meganggap keadaan ini merupakan kebahagiaan yang tak ternilai bagi saya. Karena perjuangan untuk belajar mengaji semasa muda, sampai saya pun ikut mengajar mengaji di tempat pegajian kyai Fattah, dilanjutkan dengan mengajar ngaji di mushollah selama puluhan tahun, sampai akhirnya pengajian tersebut berpindah ke rumah. Harapannya ke depan anak-anak turunanku bisa meneruskan amanat ini, sehingga tetap menyemarakkan Syiar Islam di desa kami dengan pengajaran al-qur’an dan ilmu-ilmu agama lainya. Amin……


      
 





1 komentar:

Unknown mengatakan...

tahun pinten tg jombang kang?. ajiib tulisane gawe mules mata macane hehehe guyon kang.

Posting Komentar