Jahuri, itulah nama saya, nama yang sangat
pendek sekali karena hanya terdiri dari satu kata. Kalau saya menebak-nebak
bahwa jahuri ini dari bahasa arab yang kurag lebih memiliki arti mutiara, atau
mungkin isi/ konten. Ya munkin orang tua saya megharapkan agar saya kelak
seperti sebuah mutiara, walaupun kecil ( baik bentuknya, ataupun ditempatkan di
wadah yang kecil/ tak berharga tapi tetap memiliki nilai jual yang fantastis).
Ketika saya melihat catatan Kartu Keluarga ( KK) tertulis bahwa saya terlahir
pada tanggal 07 Juni 1958 di desa Dukuhwidara kecamatan
Pabedilan , kabupaten Cirebon
. Desa ini merupakan perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah yang dibatasi oleh aliran sungai Cisanggarung, sehingga bisa dipastikan mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, karena keberadaan sungai tersebut. Cirebon kental akan tradisi-tradisi ke-NU-annya, bagitu juga di desa tempat Ayah lahir. Sehingga beliau lahir dalam lingkungan yang yang kental akan tradisi-tradisi seperti Tahlil, Shalawatan, pembacaan Barzanji/ Sirah Rasulullah, dan lain-lain. Tradisi-tradisi itulah yang sering saya dapatkan dari orang tua dan tokoh-tokoh masyarakat sekitar saya . Ayah saya bernama Makali seorag petani yang sangat sederhana sekali, sehari-hari hanya mengadalkan sawahnya yang mungkin luasnya hanya beberapa petakan kecil, namun beliau tetap sabar untuk menggarap tanah sawah tersebut, karena memang hanya mengadalkan itu untuk bisa menghidupi istri dan lima orang anaknya. Sedangkan ibu saya bernama Tasmi, nama yang begitu simpel juga. Sehari-hari ia bekerja layaknya seorang istri-istri di kampung atau desa pada umumnya, yaitu yang biasa familiar dengan istilah, kasur, dapur, sumur, namun ketiga hal tersebut tidak cukup untuk mewakili aktivitasnya sebagai seorang istri dari ayah saya, karena ia juga bekerja di sawah, mencari rumput untuk ternak, mencari kayu bakar dan kegiatan rumah lainya, bahkan kalau dikalkulasi antara kegiatan ayah dan ibu, sudah jelas kegiatan ibu sangat padat merayap. Namu walaupun begitu, ibu tetap tawaddu’ pada ayah, sehingga saya berani menjamin bahwa beliau adalah seorang istri yang sholihah dan menjadi ibu yang sangat baik bagi anak-anaknya. Selain saya, keduanya memiliki empat putra yang lain, yaitu Qodir, Mu’in, Riwes, dan Sawar. Total, beliau berdua memiliki lima anak, sedangkan saya merupakan anak kedua dari lima bersaudara tersebut.
. Desa ini merupakan perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah yang dibatasi oleh aliran sungai Cisanggarung, sehingga bisa dipastikan mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, karena keberadaan sungai tersebut. Cirebon kental akan tradisi-tradisi ke-NU-annya, bagitu juga di desa tempat Ayah lahir. Sehingga beliau lahir dalam lingkungan yang yang kental akan tradisi-tradisi seperti Tahlil, Shalawatan, pembacaan Barzanji/ Sirah Rasulullah, dan lain-lain. Tradisi-tradisi itulah yang sering saya dapatkan dari orang tua dan tokoh-tokoh masyarakat sekitar saya . Ayah saya bernama Makali seorag petani yang sangat sederhana sekali, sehari-hari hanya mengadalkan sawahnya yang mungkin luasnya hanya beberapa petakan kecil, namun beliau tetap sabar untuk menggarap tanah sawah tersebut, karena memang hanya mengadalkan itu untuk bisa menghidupi istri dan lima orang anaknya. Sedangkan ibu saya bernama Tasmi, nama yang begitu simpel juga. Sehari-hari ia bekerja layaknya seorang istri-istri di kampung atau desa pada umumnya, yaitu yang biasa familiar dengan istilah, kasur, dapur, sumur, namun ketiga hal tersebut tidak cukup untuk mewakili aktivitasnya sebagai seorang istri dari ayah saya, karena ia juga bekerja di sawah, mencari rumput untuk ternak, mencari kayu bakar dan kegiatan rumah lainya, bahkan kalau dikalkulasi antara kegiatan ayah dan ibu, sudah jelas kegiatan ibu sangat padat merayap. Namu walaupun begitu, ibu tetap tawaddu’ pada ayah, sehingga saya berani menjamin bahwa beliau adalah seorang istri yang sholihah dan menjadi ibu yang sangat baik bagi anak-anaknya. Selain saya, keduanya memiliki empat putra yang lain, yaitu Qodir, Mu’in, Riwes, dan Sawar. Total, beliau berdua memiliki lima anak, sedangkan saya merupakan anak kedua dari lima bersaudara tersebut.
Saya dan keluarga hanya tinggal di dalam
rumah yang sangat sederhana, yang semuanya terbuat dari kayu. Dengan luas rumah
tujuh meter x dua belas meter, dan hanya
memiliki tiga kamar ditambah dapur. Perlu diingat bahwa ketika itu tahun
1970-an yang mana kondisi Indonesia masih sangat sederha, berbeda dengan
kemajuan yang ada di abad dua puluh satu ini. Sehari-hari kami hanya makan dua
kali, pagi dan petang. Dan kami sekeluarga pun memaklumi kondisi tersebut, dan
tentunya kami menerima hal ini seperti apa yang dikataka ayah bahwa seyogyanya
kita menerima apa saja yang telah diberikan Gusti Allah kepada kita. Ya begitu
lah ayah dalam medidik kami penuh dengan nilai-nilai religiusitas, sehingga kami
pun merasa nyaman dengannya.
Telah disebutkan diatas bahwa saya terlahir
dari keluarga petani, maka dapat dipastikan kehidupan saya penuh dengan kesederhanaan
seperti para petani pada umumnya. Sikap kesederhanaan dan “ketelatenan” itulah yang membentuk
karakter saya. Kami pun tak menuntut lebih dari orang tua, waktu itu mungkin
kami hanya memiliki tiga sampai empat baju saja. Satu buat sekolah, ngaji, dan
dua untuk main. Tapi apalah artinya kemewahan yag orang-orang dambakan, karena
kami merasa nyaman dan bahagia dengan kondisi ini, dan tentunya teman-teman
sebaya kami pun merasakan hal yang sama dengan kami. Itulah desa atau kampung,
yang memiliki kebahagiaan tersendiri bagi penduduknya.
Ketika usia saya tujuh tahun, saya memiliki
idealisme yang tinggi untuk bisa mengennyam pedidikan yang tinggi. Dan
alhamdulillah, saya didaftarkan oleh ibu di Sekolah Rakyat. Tujuan bersekolah
pun tidak muluk-muluk, yaitu hanya ingin meghilangkan kebodohan yang ada di
dalam diri saya dan tentunya bisa bersenang-senang dan bermain bersama dengan
teman-teman di sekolah. Namun seiring berjalannya waktu, ketika sudah berjalan
satu setengah tahun, kondisinya berubah, ekonomi keluarga sangat lemah,
sehingga memaksa saya untuk tidak melanjutkan bersekolah. Sehingga tercatat bahwa
saya dalam mengenyam pendidikan formal hanya bisa sampai di kelas 2 SR (
Sekolah Rakyat), itupun tidak sampai tamat- alias berhenti di tengah jalan- alasan
saya untuk berhenti bersekolah, yaitu saya lebih memilih untuk membantu orang
tua mencari pundit-pundi rupiah, dengan berbekal keringat dan tenaga, saya
bekerja sebagai buruh/ kuli potong dan tanam tebu. Profesi ini yang saya
geluti sebagai pengganti dari duduk
manis di bangku sekolah. Menjadi seorang kuli tebu, itulah status saya yang baru, yang menggantikan status
sebelumya, yaitu pelajar atau siswa. Seorang kuli tebu butuh perjuangan ekstra
kuat, sebab jarak antara rumah dan lahan tebu sekitar 4 sampai 5 Kilometer, hal
itu ditempuh dengan berjalan kaki. Namun kebiasaan ini merata dilakukan oleh
anak pada umumya pada waktu itu dan hanya segelintir orang yang merasakan
pendidikan cukup tinggi. Bisa dibayangkan betapa masih lemahnya perekonomian
bangsa ini pada tahun 70-an tersebut. Dalam kesehariannya sebagai kuli tebu,
biasanya saya berangkat kerja setelah Sholat Shubuh dan baru pulag menjelang Ashar.
Setelah itu, saya tidak serta merta bisa beristirahat, namun membantu pekerjaan
orang tua di rumah, seperti menyapu halaman, memberi makan ayam, bebek, dan
hewan peliharaan lainya.
Namun demikian, walau pun saya bekerja
seharian, tapi idealisme untuk menuntut ilmu- khususnya ilmu-ilmu agama- tetap
ada dalam diri saya dan hal itu akan terus ada sampai sekarang. Untuk memenuhi
idealisme itu, yang bisa saya lakukan ialah ikut mengaji pada K.H. Fattah,
beliau adalah salah satu ulama yang terpandang di desanya. Sehingga saya
tercatat sebagai santri beliau. Bisa dikatakan bahka K.H. Fattah merupakan
satu-satunya orang yang memiliki kefahaman yang mendalam dalam bidang agama Islam
( tafaqquh fi al-diin) di desanya. Karena beliau mondok cukup lama di salah
satu pesantren salaf di daerah Banten, sehingga bisa dikatakan bahwa beliau
menguasai cukup mendalam tentang ajaran-ajaran Islam. Dari K.H. Fattah saya banyak
belajar tentang membaca al-Qur’an, Tajwid, hafalan surat-surat pendek, dan
Tahlil serta pelajaran agama lainnya. Ini merupakan potret bahwa pendidikan-pendidikan/
pengajian-pengajian yang dilakukan oleh “kyai desa/ kampung” memiliki
peranan yang cukup besar dalam peningkatan sumber daya manusia pada waktu itu,
karena mungkin hanya pendidikan itu yang bisa dimasuki oleh orang-orang
kalangan menengah ke bawah, dimana si kyai tak menuntut bayaran ( SPP, daftar
ulang, dan biaya administrasi lainnya seperti yang ada dalam pendidikan
formal), karena yang penting bagi seorang kyai adalah ketekunan dan keikhlasan
santrinya untuk menuntut ilmu agama sudah lebih dari cukup daripada besaran
rupiah yang akan ia dapat. Sikap inilah yang seharusnya dimiliki untuk setiap
pendidik, sehingga jiwa profesionalitas dapat tercipta dalam dunia pendidikan.
Setiap sore, setelah saya pulang dari lahan
tebu, saya langsung bergegas mandi, dan bersiap-siap berangkat ke pengajian
Kyai Fattah, dengan menggunakan sepeda tua, saya melintasi jalan desa di sore
hari. Waktu itu masih sedikit sekali rumah yang ada, sehingga yang ada adalah
pepohonan yang hijau. Jarak antara rumah ke tempat pengajian bisa ditempuh
dengan waktu lima belas menitan. Sesampainya di sana, saya menunggu datangnya
waktu Maghrib. Dan terkadang saya yang mengumandangkan adzan Maghrib, karena alhamdulillah
Gusti Allah menganugerahi suara yang lumayan merdu kepada saya, sehingga saya
dipercaya untuk megumandangkan adzan.
Sesudah berjamaah maghrib, pengajian pun
dimulai, baik santri putra maupun putri semua berkumpul di masjid. Satri yang
besar ikut mengajari santri yang lebih kecil. Dan ketika pengajian selesai kami
biasanya tidak langsung pulang, akan tetapi nongkrong dulu di serambi
masjid, ya walaupun tidak lama. kami biasaya saling ngobrol ngalor-ngidul, sembari
rehat bahka bagi santri putra sampai bermalam juga di masjid, dan nanti pulang
setelah jamaah Shubuh. Hal-hal semacam itulah yang sering kami lakukan,
sehingga rasa kekeluargaan terasa begitu kuat di antara para santri Kyai
Fattah.
Karena begitu dekatnya baik santri putra
maupun putrinya, tidak jarang ada diantara teman kita yang kami jodoh-jodohka
sendiri. Walaupu hanya sekedar canda dan
guyonan belaka namu, tidak jarang pada akhirnya mereka benar-benar
jodohnya. Ketika itu saya pun kena sasaran teman-teman santri juga. Waktu itu
seingat saya, saya dijodohkan dengan santriwati yang namanya Darwi.
Setelah beranjak dewasa, saya mulai bekerja
sebagai buruh tani di desa, menggantikan kuli tebu. Jenis tanaman yang banyak ditanam oleh masyarakat
adalah bawang merah, sehingga dibutuhkan pekerja yang khusus merawat bawang
tersebut dari masa awal tanam sampai masa panen. Istilah yang popular untuk pekerjaa ini ialah “
ngontrak bawang”. Dimana seorang “bos bawang” atau pemilik bawang
menyerahkan sepenuhnya tanaman bawangnya kepada pekerjanya untuk digarap dan
kemudian ia digaji setelah panen, biasanya sekitar dua setangah atau tiga
bulanan. Pada waktu itu saya bekerja pada Pak Warna, ia merupak bos bawang yang
cukup sukses. Profesi ini berlangsung cukup lama, sampai nantinya saya menikah
dengan Asmanah, profesi ini tetap melekat dalam status saya.
Dari profesi inilah saya mulai untuk hidup
membina keluarga. Saya dijodohkan oleh
orang tua dengan Asmanah, dia merupakan santri dan sekaligus keponakan
Kyai Fattah. Usianya pun lebih muda dari saya, terpaut lima tahun. ketika dulu saya
dijodoh-jodohkan oleh teman-teman dengan Darwi, asmanah juga dijodoh-jodohkan
dengan Zubair. Namun pada akhirnya, teryata saya berjodoh dengan Asmanah. Saya
kagum denga istri saya, karena ia seorang istri yang memiliki tipikal pekerja
keras, mungkin karena ia anak sulung dari pasangan Raenoh dan Shoheh, yag
keduanya memiliki 10 anak, jadi jiwa kepemimpinannya lebih kuat. Selain itu ia
juga memiliki keahlian dalam membuat kueh, seperti lapis, poci, ambon,
kukuran, juwadah, dan makanan khas
desa kami lainnya. Sehigga tidak jarang
ia mendapatkan pesanan dari tetangga-tetangganya yang akan memiliki hajatan,
seperti selametan, mitung dina, nyatus, mendak, khitanan, nikahan dan
lain-lainya. Bahkan tak jarang juga ia diundang untuk menjadi juru masak dalam
acara-acara tersebut karena memang selain lihai dalam membuat kue, ia juga
pandai memasak. Saya merasa bersyukur memiliki istri seperti dia. Bahkan satu
hal yang bikin saya bahagia pula, bahwa ia terlahir dari keluarga yang memiliki
perhatian yang cukup besar terhadapa agama, sehingga ia pun saya yakin memiliki
kepribadian yang baik. Ia sering berpuasa sunnah Senin-Kamis, membaca al-qu’an
lancar, dan selalu hidup sederhana. Dari pernikahan ini kami dikaruiahi enam
anak, yang terdiri dari dua putri dan empat putra, yaitu Fatimah, Saropah,
Kamali Rodad, Abdurrahman, Jamaluddin, dan yang terakhir Abdul Ghofar.
Disadari atau tidak, bapak warna sangat
sayang kepada saya, mungkin karena memang
pekerjaaan saya dianggap olehnya sangat baik. Hal ini terbukti, ketika
saya hendak memperbaiki rumah, beliau
menghibahkan “tekel” untuk dipasang sebagai lantainya. Walaupun sekarang
tekel jarang dipakai karena kalah pamor dengan keramik, namun pada waktu
itu rumah yang lantainya menggunakan tekel bisa dihitung dengan jari.dan
banyak lagi bantuan yang sering beliau berikan kepada kami.
Telah disebutkan bahwa pedidikan yag kudapatkan dalam sekolah formal
hanya sampai kelas dua Sekolah Dasar, karena selanjutnya diriku disibukkan
dengan membantu orang tua untuk bekerja sekedar yang saya bisa. Namun pedidikan
agama -yang memang dalam keluarga saya
mendapatka prioritas lebih banyak- tetap
saya dapatkan dengan megabdikan diri
saya sebagai santri Kyai Fattah, kyai yang memang kesohor akan kedalaman ilmu agamanya. Saya tidak tau pasti
kapan saya mulai menjadi santri beliau, tapi yang pasti bahwa saya mendapatkan
ajaran dan pendidikan agama dari beliau sejak saya kecil, entah usia tujuh, delapa, atau mungkin sembila tahun. Materi
yang diajarkan beliaupun tidak muluk-muluk, pada awalnya kita diajari bagaimana
membaca al-qur’an yang baik dan benar, dalam artian sebisa mungkin melafalkan
al-Qur’an dengan fashih, dan makhroj yang tepat. Metode yang digunakan pun
ialah musyafahah , yaitu dimana murid dan guru berhadap-hadapan secara
langsung, kemudian murid membacakan al-Quran dihadapan gurunya, sedangkan gurunya
memperhatikan bacaan yang keluar dari mulutnya sembari memperhatikan
gerak-gerik mulutnya apakah sesuai denganya atau tidak. Hal itu saya ulangi dan
lakukan berkali-kali setiapa hari, kecuali pada malam jum’at, karena sudah
menjadi rahasia umum bahwa hari itu
kegiatan pengajian libur, dan diganti dengan pembacaan Barzanji, Shalawatan,
Jamiyahan, Yasinan dan lain-lain. Saking seringnya saya mengaji maka
al-hamdulillah saya pun dapat mengkhatamkan al-Qur’an dengan cepat. Seperti
tradisi yag ada ketika santri telah mengkhatamkan al-Quran maka ia disuruh
untuk membantu gurunya mengajari santri-santri yang lainnya , yang jelas mereka
yang kemampuan membacannya belum baik, seperti sering lupa hurufnya, panjang pendeknya,
atau mungkin yang tidak tahu sama sekali. Tujuannya agar ketika mengaji
kehadapan kyai Fattah paling tidak tinggal melancarkan bacaannya.
Hari demi hari saya ikut mengajari adik-adik santri yang kurang bisa
membaca al-quran, bahkan hal itu dilakukan sampai menjelang pernikahan saya
dengan Asmanah. Ketika saya menikah dengan Asmanah, maka secara tidak langsung saya
jarang untuk mengajar ngaji di tempat Kyai Fattah, karena saya harus mengurusi
keluarga dan saya juga disuruh mengajar ngaji di mushalah Darul Jalal. Musholah
ini sepenuhnya berada dalam keluarga kyai Raji yang digunakan untuk umum. Kyai Raji
sendiri merupakan kakak dari ibu saya, sehingga biasa saya memanggilnya denga
“Uwa”( atau Pakde dalam bahasa Jawa). Ukuran
mushollah ini pun sangat kecil ,
yaitu sekitar 7x 6 meter yag terbagi
atas dua bagian , bagian depan sebagai shaf bagi jamaah laki-laki dan bagian
belakang sebagai shaf untuk jamaah putri. Di dalamya terdapat tumpukan al-Qur’an,
dan diluar terdapat kentongan yang digunakan sebagai penanda waktu shalat
sebelum adzan dikumandangkan.
Pada awalnya saya menolak untuk mengajar ngaji di musholah Darul Jalal
ini, karena memang saya merasa tidak pantas untuk menjadi ustad di musholah
tersebut, selain dikarekan kemampuan keagamaan saya yang minim, di sana juga
terdapat orang-orang yang memang selayaknya lebih pantas, karena mereka
mendapat pendidikan agama dari pesantren, atau yang biasa disebut denga istilah
mondok. Namu saya juga tidak bisa menolak kepercayaan yang begitu besar
yang diberikan warga setempat untuk menitipkan anaknya kepada saya agar sekedar
diajari membaca al-qur’an yang baik.
Maka denga niat lillahi ta’ala dan
membagi-bagi ilmu yang saya dapatkan dari kyai Fattah, maka saya pun mulai
mengajari anak-anak disekeliling untuk belajar mengaji al-qur’an. Dari mereka
ada yang belajar qur’an gedhe, IQRA, dan juz amma.
Ada satu hal lagi yang paling pentig bagi saya, kenapa saya mau
mengajari mereka mengaji, yaitu saya hanya ingin anak-anak yang ada di sekitar
saya ialah mereka yang bisa dan lancar mengaji al-qur’an. Karena bagi saya al-Qu’an
wajib bagi kita untuk membacanya, mengamalkan isinya. Nah paling tidak point
pertama bisa tercapai melalui pengajian saya. Di sisi lain juga mushollah Darul
Jalal adalah mushollah satu-satunya di gang kami yang terdiri dari puluhan
rumah, sehingga wajib diadakan pengajian di mushollah tersebut.
Ditengah kesibukan saya sebagai seorang yang bermata pencaharian
menggarap sawah, atau yang biasa disebut petani. Saya tidak merasa keberatan untuk
meluangkan waktu selepas Maghrib untuk mengajari ngaji anak-anak kecil yang
tinggal di sekitar mushallah. Metode yang saya gunakan dalam mengajar al-qur’a
pun tidak berbeda jauh dengan metode yang pernah saya rasakan ketika menjadi
santri Kyai Fattah, yaitu musyafahah.
Seperti biasanya ketika adzan
berkumandang, maka anak-anak segera berdatangan ke mushollah, bahkan ada yang
datang lebih awal. Setelah sebelumnya
mereka ribut dengan urusannya
masing-masing di sekeliling mushollah, yaitu bisa ribut karena main petak
umpet, sekedar ngobrol , main jentot dan hal-hal lainya yang serig dilakukan
anak-anak, maka segera mereka menghetikan aktivitas mereka dan memasuki
mushollah untuk melakukan jamaah maghrib. Sambil menunggu imam, biasanya mereka
melantunkan puji-pujian atau sholawatan, biasanya yang sering
dilantunkan ialah Sholawat Badar. Suara gemuruh sholawat mereka pun seolah
memenuhi musholah dan bahkan menghiasi heningnya petang. Tatkala imam datang,
maka Iqamah pun dikumandangkan dan
secara otomatis mereka membentuk shaf shalat.
Seperti disebutkan di muka bahwa kampung kami kental aka kultur NU, maka
setelah sholat, kami melakukan wiridan bersama dengan cara dijahr-kan
suaranya yag tentunya dipimpin oleh imam sholat, dari mulai membaca istighfar
tiga kali, tasbih, tahmid, takbir dan tahlil. Setelah
itu diakhiri dengan doa oleh imam yang
diamini oleh ma’mum. Doa selesai, kita tidak lantas meninggalkan
musholah, akan tetapi kami saling mushafahah satu dengan yang lainnya,
dengan cara yang kecil mencium tangan yang lebih tua.
Bergegaslah anak-anak ke tempat pengajian selepas sholat jamaah, mereka
saling berebut tempat mengaji. Laki-laki di sebelah barat dan perempuan di
sebelah timur. Mereka hanya dibatasi sejengkal tempat duduk yang nantinya
ditempati oleh saya. Setelah itu pengajian pun dimulai, dan berakhir ketika adzan
‘Isya dikumandangkan. Begitulah sehari-hari yang saya lakukan, kecuali
malam Jum’at yang memang sengaja saya liburkan.
Suatu hari kyai Dahlan, putra kyai Raji pulang dari kesibukannya di Jakarta.
Biasanya beliau memang pulang sebulan sekali untuk melepas rindu dengan
keluarganya yang ditinggal di desa, sekaligus melihat kondisi mushollah
peinggalan ayahnya ini. Seperti biasanya ketika ia berada di rumah maka ia
mengimami sholat jamaah dan memberi taushiyah setelahnya, dan di akhir tausiyahnya
beliau akhiri dengan harapan dan keinginannya utuk bisa bekerja dan menetap di
desa ini, karena dengan itu ia bisa lebih konsen lagi untuk meramaikan musholah
dengan pengajian dan kegiatan lainnya. Kontan harapan yang ia sampaikan memberi
ketenangan bagiku. Harapa saya selama ini yang mengidamkan akan adanya seseorang
yang memiliki ilmu agama yang cukup yang mau mengajar agama di musholah ini.
Kyai Dahlan adalah salah satu putra kyai Raji, ia pernah belajar agama di
pondok pesantren asuhan KH Abdul Malik di desa Panggangsari Cirebon, salah satu
kyai yang cukup disegani masyarakat di Cirebon Timur.
Namun saya menyadari bahwa hal ini masih berupa harapan yang masih
banyak kemungkinan, mungkin terjadi dan mungkin tidak. Dan pastinya hari-hari
selanjutya pengajian tetap dipegang oleh saya. Di tengah penantian atas harapan kehadiran kyai Dahlan utuk menetap dan mengajar
di musholah ini, datanglah ustad Daud, ia santri Kempek yag sudah boyongan
dari pondoknya. Kebetulan ketika itu ia menikah dengan Murni, gadis dari gang
kami dan keduanya membagun rumah yang persis bersebelahan dengan mushollah.
Masyarakat pun menyambut hal ini dengan baik, mereka memiliki ekspektasi
yang tinggi pada ustad muda ini, yaitu agar ia mau untuk meraimaikan mushollah
satu-satunya yang ada di gang kami ini dengan kegiatan pengajian khususya, dan syiar
Islam pada umumnya. Dawud pun memahami keinginan masyarakat sehingga ia mulai
aktif mengisi pengajian di mushollah. Karena pegajian al-Qur’an sudah
dipercayakan kepada saya, maka ia memilih untuk mengajar yang lain seperti
fikih, aqidah dan lain sebagainya.
Sehari ia mengaji antusias masyarakat semakin tinggi sekali, namun
beberapa hari kemudian, masyarakat mulai bosan dan tidak merasa nyaman. Entah
mengapa hal itu terjadi. Setelah saya selidiki, ternyata mereka- terutama
anak-anak- merasa bahwa ustad Dawud selalu membentak-bentak dalam
pengajarannya, bahkan tidak jarang ketika baru sebentar mengajar, ia langsung
pulang karena anak-anak ribut terus. Ustad
Dawud akhirnya memutuskan untuk meninggalkan pengajian di mushollah dan membuka
pengajian di rumahnya. Seingat saya hanya beberapa santri yang mengaji
kepadanya dan kebanyakan dari keluarganya sendiri. Pengajian ini pun tidak
berumur lama. Karena setelahnya, Ustad Dawud seolah-olah tak memiliki
kepedulian pada pengajian anak-anak di sekitarnya, ia sibuk dengan urusan
pribadinya, maka pegajian di mushollah pun tetap saya pegang kembali.
Dawud berlalu maka muncullah ustad Fuad. Ia adalah putra bapak Muharrom,
yang merupakan adik dari kyai Dahlan. Fuad sekarang menetap di rumah setelah
menyelesaikan pendidikannya mulai dari pondok pesantren di Kali Wungu Kendal, kemudian
Buntet Cirebon, dan terakhir di Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta di
Fakultas Syariah. Namu saya tidak tahu secara pasti yang ia ambil di
jurusannya. Seperti kasus sebelumya bahwa anak muda ini digadang-gadang sebagai
penerus keluarga kyai Raji untuk meramaikan majlis pengajiannya, bahka setiap
ia pulang dari pondok, ia selalu diberi kesempatan oleh kyai Dahlan untuk
sesekali mejadi imam sholat jamaah dan memberi ceramah ala kadarnya saja. Bagi
saya ini merupakan sinyal positif, karena kyai Dahlan melakuakan regenerasi
dalam kepemimpinan di musholahnya.
Pengajian ustad Fuad pun dimulai, dalam pengajiannya ia memiliki metode
pegajaran yang berbeda dari pengajaran yang telah ada. Mungkin karena pengalaman
dalam studinya yang malang melitang dari satu tempat/daerah ke daerah lainya,
sehingga ia memutuskan dengan menggunakan metode yang menurutnya dianggap lebih
baik. Diawali dengan mecoba untuk menjadwal secara sistematis jadwal pelajaran
yang akan diajarkan, dan dalam pengajarannya ia hendak menggunakan sistem
klasikal, ia berharap sistem ini akan
memberi pengajaran ilmu agama yang lebih baik. Kami merasa kagum padanya,
karena ia mencoba menjadikan mushollah ini sebagai lembaga yang mirip dengan
pesantren.
Mulailah disebarkannya jadwal kitab yag akan dikajianya, bukan sekedar
itu saja, ia juga bekerja sama denga ibunya yang merupakan pemilik dan penjaga
took, untuk menyediakan dan menjual kitab-kitab yang ada dalam jadwal
pengajian, agar santri-satri tidak kesulitan dalam mencarinya. Entah kenapa
juga, ketika semunya telah di setting secara rapih ini, tetapi tidak
mendapat sambutan yang baik dari anak-anak, sekali lagi saya pu merasa heran,
kenapa hal ini terjadi. Padahal waktu itu kegiatan mengaji sudah saya lepas dan
serahkan kepada ustad Fuad, namun karena agenda yang dicanangkan olehnya gagal,
maka saya memegang kembali pengajiannya, dan alhamdulillah dapat menarik
anak-anak lagi yang ketika pengajaran ustad Fuad dimulai, mereka jarang dan
bahkan meninggalkan pengajian dan mushollah sekaligus.
Namun saya tetap memberi apresiasi yang tinggi bagi keponakanku ini,
karena sudah barang tentu, kegigihan dan semangat juangnya yang tinggi dalam menciptakan
pengajian di mushollah dengan sitem yang baik, walau nantinya anak-anak banyak
yang tidak tertarik padanya. Bukan hanya itu saja, ia pun mampu untuk
meyelenggarakan acara yang cukup sukses, yaitu perayaan Halal bi Halal
Keluarga Besar Ikatan Remaja Mushollah Darul Jalal. Dan perlu diingat bahwa itu
lah pertama kalinya diadakan halal bi halal secara meriah di mushollah
tersebut, dan itu pula kejadian yang mana pertama kalinya ikatan remaja
dibentuk dan aktif. Saya hanya bisa berucap “alhamdulillah”. Dalam acara halal
bi halal tersebut ustad Fuad medatangkan K.H. Zein dari kelurahan Ambit Cirebon,
bahkan yang lebih hebatnya lagi menurutku ialah setelah acara ini selesai,
beberapa hari kemudian ustad Fuad dijodohkan oleh Kyai Zein dengan
kemenakannya. Setelah ia menikah dengan kemenakan kyai Zein maka, secara tidak
lagsung ia tinggal di desa dimana istriya tinggal, yaitu desa Ambit. Jarak dari
desa kami dengan ambit sekitar 1 jam dengan menggunakan sepeda motor. Ya dan
akhirnya ia tinggal sana, dan kabar
terakhir yang saya dapatkan bahwa ia diangkat sebagai ustad di sana. Saya pu
merasa bersyukur karena ia tetap berjuang di sana, namun saya pun bersedih,
karena sekali lagi di mushollah ini sepi dari orang yang berilmu agama yang mendalam
untuk mengajar ngaji.
Maka untuk kesekian kalinya, secara terpaksa saya harus memegang kembali
pegajian di mushollah. Namun ketika itu saya merasa sedikit lega. Kyai Dahlan
yag sekian lama bekerja dan menetap di Jakarta, akhirnya ia pulang kampung dan
menetap di desa kami. Namun setelah cukup lama menetap, beliau belum juga bisa
merealisasikan harapannya, bahkan ia malah membuka lapak nasi goreng kembali di
kecamatan, sehingga ia sibuk dengan bisnisnya ini, apalagi lapaknya dibuka
setiap jam 05. 00 sore, otomatis beliau tidak ada di mushollah ketika jam
pengajian. Pada akhirnya pun lapak tersebut diserahkan kepada anaknya, karena
kondisi fisiknya yang semakin lemah. Terdengar kabar bahwa beliau terkena
penyakit paru-paru. Maka kegiatan pengajian tetap saya yang menghandle
sedangkan beliau hanya mengimami sholat berjamaah saja.
Pengajian yang biasanya di laksanakan setelah Maghrib, ternyata suatu
hari ada kejadian yang aneh. Tatkala saya tidak bisa sholat berjamaah sebab
pulang dari sawah agak petang. Saya pun sholat di rumah. Ketika hedak menuju ke
mushollah untuk mengajar mengaji tiba-tiba terdengar suara gaduh dan ramai diteras
rumah. “ ada apa ini” pikirku, “ kenapa mereka masih rebut di luar, dan tak
langsung masuk ke mushollah”. Saya pun bergegas keluar da mendatangi mereka.
Ternyata saya dapati mereka sedang kumpul ramai di teras rumah “ lho kok masih
di sini” tegurku, “ wa Jahuri, kyai Dahlan
marah tadi, kita tidak boleh ngaji di mushollah”, sahut salah satu dari
mereka, “ emang kenapa?” tanggapku, “ tadi kami buat kegaduhan terus, selama
sholat jamaah maghrib”, “ ya sudah, ayo masuk ke rumah saja ngaji di sini saja
ya” anjurku.
Sejarah pun seolah berubah pada saat itu juga, saya merasa bahwa sekarag
saya memiliki tanggung jawab yang lebih besar lagi. Entah kenapa hal ini
terjadi pada saya, wong orang-orang tahu bahwa saya ini hanyalah seorag
yang hanya bermodal baca al-Qur’an yang boleh dikatakan sedikit lancar, tapi kenapa
diberi kepercayaan besar seperti ini, padahal di sekeliling kami banyak
orang-orang yang pinter, karena memang mereka pernah mengenyam pendidikan agama
di pesantren, dan hal ini berbeda dengan saya yang hanya dapat pendidikan agama
dari nyantri kalong kepada kyai Fattah. Tapi dengan niat lillahi taala
dan i’tiqad menghilangkan kebodohan dan dengan bismillah tentuya, saya
mulai untuk mengajar mengaji anak-anak
yang mau diajar di rumah saya. Rumah yang mungkin sangat sederhana, temboknya
sudah mulai melepuh dan hancur sehingga batu bata merahnya nampak jelas.
Ditambah lagi dengan penerangan yang boleh dikatakan lumayan terang sedikit,
karena plafon rumah hanya meggunakan anyaman bambu sehingga pantulan cahaya pun
terasa remang-remang, namun saya melihat hal ini tidaklah mengapa karena
antusias anak-anak untuk mengaji sangat tinggi, sehingga ruangan yang digunakan
untuk mengaji dengan ukuran sekitar 4x6
ini penuh sesak dengan keberadaan mereka, sekalipun hanya beralaskan tikar
jadul, karena memang hanya sekedar menghalangi kontak langsung antara tubuh
dengan tekel tua pemberian bapak Warna.
Jadilah akhirnya setiap menjelang Maghrib di halaman rumah ramai dengan
hilir mudik anak-anak, ada yang berangkat jam lima sore, ada pula yag berangkatnya
ketika pengajian akan dimulai. Keadaan ini berbanding terbalik dengan yang ada
di mushollah, karena hanya terlihat sedikit orang saja, itu pun mereka yang
dewasa dan tua saja, sedangkan anak-anak usia enam sampai sembilan tahu sibuk
dengan aktivitas mereka di halaman rumah untuk menunggu pengajian. Terkadang
saya pun meyuruh mereka untuk sama-sama melakukan sholat berjamaah, karena
memang anak-anak, sehingga kadang menuruti perintah saya, tapi sering juga
melanggarnya. Ya saya memaklumi hal itu.
Pengajian biasanya dimulai dengan membaca al-Fatihah
bersama-sama, kemudian disusul dengan “ rabbi israhli shodrii…..( sampai
akhir)”, dan tak lupa pula kadang saya mermberi sekedar peringatan bagi mereka
yang susah diatur,. terutama mereka yang agak besar dan membandel. Ya sekedar
menegur bacaan yang salah ketika melafalkan al-fatihah bersama-sama, atau
ketika yang lain membaca dua bacaan di atas, mereka malah terlihat “guyonan” atau
ribut sendiri atau bahkan “cekakak-cekikik” dengan temannya. Saya tak
bosan-bosannya untuk menegur mereka. Saya teringat dengan anak-anak saya ketika mereka kecil, betapa
seringnya saya marah kepada mereka, karena tingkah mereka yang kadang tidak
beraturan. Keenam anak saya ketika kecil antara satu dengan yang lainnya hanya
selisih tiga sampai empat tahun saja, sehingga mereka ketika kecil memiliki
fostur tubuh yang tidak terlalu mencolok. Namun kenangan itu tinggal kenangan
saja karena anak pertama dan kedua, keduanya perempun telah berkeluarga dan
sudah memiliki rumah masing-masing. Sekarang tinggal empat anak yang belum
menikah yang kesemuanya laki-laki. Akan tetapi dua diatara mereka sekarag tidak
berkumpul dengan kami. Abdurrahman, anak keempat kami, sudah dua tahun ia
bekerja di Jepang, dan akan kembali setahun lagi insyaAllah, sedangkan yang
satunnya ialah Jamaluddin, ia anak kelima kami, dan satu-satunya yang mendapatkan
pendidikan agama di pesantren. Karena inilah maka tak jarang saya meminta
kepada anak-anak yang mengaji di rumah saya untuk berkirim al-fatihah setiap
hari selasa, dikhususkan kepada Abdurrahman, dan setip hari rabu yag
dikhususkan kepada Jamaluddin. Hari-hari tersebut merupakan hari kelahiran
keduanya.
Keinginan saya untuk bisa memiliki anak yang mondok tercapai juga, yaitu
dengan dikirimnya Jamal ke Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang,
selepas kelulusannya dari MTsN Losari. Saya benar-benar meginginkan agar salah
satu dari anak saya ada yang bisa mengaji al-Quran dengan baik dan setidaknya
mengerti ilmu agama yang lebih dalam ketimbang ayahnya. Harapan saya pun tidak
muluk-muluk, yaitu ketika ia telah menamatkan studinya di pondok pesantren dia
bisa mengisi dan menggantikan posisi saya, yang semakin hari semakin menua.
Saya anggap ini adalah upaya saya dalam regenerasi pengajian di desa kami,
karena saya menganggap betapa pentingnya mengaji bagi anak-anak muda, apalagi
di zaman globalisasi seperti sekarang ini, dimana arus informasi begitu cepat
menyebar bahkan sampai sudut –sudut pedesaan sehingga di sini saya berharap
dengan adanya pengajian setidakya bisa mejadi backing atau paling tidak filter serta tameng bagi
mereka. Karena tidak semua informasi atau hal apapun yang masuk itu merupakan
hal-hal yag bernilai positif, bahkan tidak sedikit hal-hal tesebut bermuatan
nilai negatif dan dikhawatirkan merusak moral generasi muda.
Maka saya mengharapkan kepada Jamal agar bisa sukses dalam pengembaraan
ilmunya, dan semoga ia kelak bisa melaksanakan pengajian yang kini berada di
rumahnya, yang tentunya pengajian yang lebih baik dari sebelumnya. Saya pun
bersyukur kepada Allah, karena ketika Jamal pergi mondok, kakaknya, Kamali
Rodad, juga memiliki gairah menuntut ilmu yang tinggi pula, entah karena ia iri
( yang baik tentunya) atau kenapa, karena setelah membantu saya mengajar ngaji
anak-anak, ia langsung bergegas ke desa sebelah untuk mengikuti kajian
kitab-kitab kuning, tapatya ia mengaji kepada kyai Nawar.
Berkali-kali saya mengucapkan syukur kepada Allah atas kebahagiaan ini.
Saya meganggap keadaan ini merupakan kebahagiaan yang tak ternilai bagi saya.
Karena perjuangan untuk belajar mengaji semasa muda, sampai saya pun ikut
mengajar mengaji di tempat pegajian kyai Fattah, dilanjutkan dengan mengajar
ngaji di mushollah selama puluhan tahun, sampai akhirnya pengajian tersebut
berpindah ke rumah. Harapannya ke depan anak-anak turunanku bisa meneruskan
amanat ini, sehingga tetap menyemarakkan Syiar Islam di desa kami dengan pengajaran
al-qur’an dan ilmu-ilmu agama lainya. Amin……
1 komentar:
tahun pinten tg jombang kang?. ajiib tulisane gawe mules mata macane hehehe guyon kang.
Posting Komentar