Judul buku :
Agama dan Bayang-Bayang Etis -Syaikh Yusuf al-Makassari
Pengarang :
Dr. Mustari Mustafa
Tahun terbit : 2011
Penerbit :
L-kis Yogyakarta
Jumlah halaman: 206 halaman; 14,5 x 21 cm
A.
Tentag Penulis dan Latar Belakang Penulisan
Buku ini merupaka karya bapak Mustari
Mustafa , salah satu mahasiswa pascasarjana di Jurusan Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat
Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada. Dalam karyanya ini , penulis
ingin mengungkap nilai-nilai filosofis dari dakwah dan perilaku kehidupan
keagamaan seorang ulama besar nusantara abad 17 yang oleh pegantar redaksinya disebut
dengan lengkap namanya, ialah Syaikh al- Hajj Yusuf Abu al-Mahasin Hadiyatullah
al-Taj al- Maqashshari atau yang biasa kita kenal dengan sebutan Syaikh Yusuf
al- Makassari. Buku ini setidaknya terdiri dari enam bab yang akan dibahas,
yaitu: 1. Bab Pertama, berisi pendahuluan, 2. Bab Kedua,
yang dibahas adalah biografi Syaikh Yusuf dan karya-karyanya, 3. Bab Ketiga, dikhususkan pada bahasan “Basis etika religius Syaikh Yusuf”, 4. Bab Keempat, fokus kajian diarahkan pada universalisme pesan etis dalam karya Syaikh Yusuf. 5. Bab Kelima, pembahasan yang ada mengenai “Refleksi Teoritis Etika Religius Syaikh Yusuf”, dan 6. Bab Keenam, sebagai penutup, dan tetunya diakhiri oleh daftar pustaka, indeks dan biodata singkat penulis sendiri, namun secara lebih khusus, pembahasan dalam buku ini ialah seperti yang ditulis dalam halaman kedua setelah halaman judul, yaitu tiga aspek. Pertama, pribadi Syaikh Yusuf al-Makassari. Kedua, etika religius, dan ketiga, dakwah pembebasan.
yang dibahas adalah biografi Syaikh Yusuf dan karya-karyanya, 3. Bab Ketiga, dikhususkan pada bahasan “Basis etika religius Syaikh Yusuf”, 4. Bab Keempat, fokus kajian diarahkan pada universalisme pesan etis dalam karya Syaikh Yusuf. 5. Bab Kelima, pembahasan yang ada mengenai “Refleksi Teoritis Etika Religius Syaikh Yusuf”, dan 6. Bab Keenam, sebagai penutup, dan tetunya diakhiri oleh daftar pustaka, indeks dan biodata singkat penulis sendiri, namun secara lebih khusus, pembahasan dalam buku ini ialah seperti yang ditulis dalam halaman kedua setelah halaman judul, yaitu tiga aspek. Pertama, pribadi Syaikh Yusuf al-Makassari. Kedua, etika religius, dan ketiga, dakwah pembebasan.
B.
Tentang Isi Buku
Untuk memenuhi bagian pertama ( mengenai Syaikh Yusuf al-Makassari)
penulis mencoba untuk menghadirka
biografi secara singkat Syaikh Yusuf yang melingkupi, tempat kelahiran , kondisi
social, politik da budaya masyarakat sekitarnya ( dalam konteks ini ialah masyarakat suku Bugis, Makassar Sulawesi Selatan, dan
lebih khusus lagi adalah masyarakat Kerajaan
Goa), jenjang pendidikan atau pengelanaan/ pengembaraan keilmuan (
rihlah dirasiyyah) yang ditempuh oleh Syaikh Yusuf, disebutkan juga mengeai
tempat-tempat yang dikunjungi Syaikh Yusuf, tentuya yang memiliki kontribusi
dalam pengembangan intelektualitasnya, diantaranya Banten, Aceh, Yaman, Hijaz, Syiria, dan Turki,
selain itu, dipaparkan pula tempat-tempat yang menjadi objek pengabdian Syaikh
Yusuf yaitu Makassar ( kampong halamanya
Syaikh Yusuf itu sendiri), Banten ( tempat dimana ia banyak melakuka pengabdian
dalam kesultanan Banten, karena diangkat sebagai Mufti, dan banyak melakukan
perjuangan melawan colonial Belanda) dan Cape town. Namun dalam hal ini Sri
Langka tidak disebut, padahal sebelum pembuangan ke Afrika Selatan selama empat
tahun beliau diasingkan ke sekitar daerah tersebut, dalam bagian penutupnya pun
penulis menyebut negara tersebut, tapi dalam pembahasan tempat-tempat yang menjadi lahan pengabdian
beliau negara tersebut tidak dimasukkan. Selain hal-hal di atas Penulis juga menuliska
guru-guru Syaikh Yusuf , kurang lebih sejumlah 21 nama yag terdaftar, dan
puluhan karya Syaikh Yusuf yang dalam bahasa penulis karya-karya tersebut
didominasi oleh dimensi tasawwuf. Dalam
hal karya-karya Syaikh Yusuf, penulis banyak merujuk pada buku karangan
Tudjimah yang berjudul “ Syaikh Yusuf, Riwayat, dan Ajarannya”.
Selajutnya untuk memenuhi bagian kedua ( Etika Religius) setidaknya kita
harus merujuk pada bab ketiga , dimana dibahas
mengeai basis pemikiran etika religius Syaikh Yusuf. Pada kajian ini
terlihat corak pemikiran syaikh yusuf yang lebih mengedepankan ajaran tasawwuf
yang murni atau dengan bahasa lain disebut
neo–sufisme sebagai anti tesis/ kritik dari ajaran tasawwuf
heterodoksnya Hamzah Fansuri dan Syamsuddi al-Sumatrani yang mengamalkan ajaran wahdah al-wujud.
Poin penting yang menjadi fokus dalam kajian bagian ini ialah bagaiamana Saikh
Yusuf berusaha menyeimbangkan antara empat aspek yang penting dalam agama Islam,
yaitu syriat, tarekat, hakekat, dan makrifat. Namun yang sering
kita jumpai ialah betapa seringnya dimensi dzikir disebutkan dalam bahasan ini,
hal ini mengindikasikan betapa
pentingnya nilai dzikir menurut Syaikh Yusuf bagi seseorang, lafadz
dzikir yang banyak uraiannya ialah mengenai dzikir laa ilaha illallah,
yang mana Syaik Yusuf megklasifikasi manusia ketika mengamalka dzikir ini
kepada empat gologan, yaitu munafik,
mukmin umum, orang khusus dan khas
al-khas. Ada satu hal penting yang di ajukan oleh Syaikh Yusuf selain hal-hal
di atas, yaitu konsep al-Insan al-Kamin, pandangan terakhir ini
tampaknya memiliki kesamaan dan bersumber dari pemikiran mistik Ibnu al-Arabi
yang kemudian dimatangkan oleh al-Jilli
Sedangka untuk bagian ketiga/ terakhir , setidaknya kita merujuk pada
bab keempat dan kelima. Di bab keempat dijelaskan bahwa landasan etika religius Syaikh Yusuf ialah landasan
normatif yang bersumber pada keyakinan dan pegalaman keberagamaan. Etika ini
menitikberatkan pada dimensi relasi dan harmonisasi kehidupan manusia dengan sang
pencipta berdasarkan suatu pendangan universal dan rasional (lihat hlm 83)
Bab kelima penulis mecoba untuk mengajukan pemikiran-pemikiran Syaikh
Yusuf mengenai etika, dimana Syaikh Yusuf dalam hal ini berbeda dengan konsep
para filosof Barat. Dalam tataran humanisme contohnya, humanisme yang dibawa
oleh syaikh yusuf dan kaum sufi pada umumnya ialah humanisme yang memiliki
muatan moral dan wawasan spiritual, sedangkan humanisme Barat adalah humanisme
yang kosong akan hal tersebut karena lebih mementingkan peradaban pikir (iptek)
dan materi yang pada akhirnya berujung pada dehumanisasi, demoralisasi, dan
despiritualisasi ( lihat hlm 110)
Dalam bab kelima ini pula penulis melacak akar geneologi pemikiran para
filosof Barat mengenai etika. Namun sebelumya ia menulis mengenai hakikat ilmu
yang mejadi pondasi akan etika itu sendiri. Secara umum ilmu dapat diartika
sebagai pegetahuan yag didapat melalui proses tertetu yang dinamakan dengan metode keilmuan. Metode inilah yang membedakan
ilmu denga buah pemikiran yang lain. Dengan kata lain, ilmu adalah pengetahuan
yang diperoleh dengan menerapakan metode keilmuan. Karena ilmu merupakan
sebagian dari pengetahuan, yakni pengetahuan yang memiliki sifat-sifat tertentu
maka, ilmu dapat disebut pula disebut dengan
pengetahua keilmuan. Ketika sampai pembahasan ini seolah-olah kita diajak untuk
megetahui sejarah keilmuan itu sendiri, sehingga kita terasa harus meinggalkan
sejenak pembahasa-pembahasan yang telah kita dalami pada bab-bab sebelumya. Inilah
yang menurut saya tidak efektifya pembahasan dalam buku ini, sehingga yang ada
hanyalah ketidak fokusan pembahasan, karena begitu melebarnya pembahasan,
walaupun saya menyadari bahwa dengan adanya pembahasan tersebut diharapkan
pembaca dapat mengetahui secara holistic akar rumput / grass root dari permasalahan
etika tersebut.
Seperti dalam pembahasan filsafat pada umumya, maka disini dijelaskan
pula mengenai tiga komponen pokok yang
ada dalam filsafat seperti ontology, epistemology, dan aksiologi. Ontology
secara gampang dapat diartikan sebagai tentang apa yang ingin diketahui, yaitu
pengkajian teori tentang yang ada. Epistemology merupakan pembahasan mengenai
bagaiman cara mendapatkan pegetahuan mengenai objek tersebut. Dan yang terakhir
adalah aksiologi, yang merupakan pegetahuan tetang nilai yang memberikan
penilaian baik atau buruknya suatu tindakan.
Setelah pembahasan mengenai tiga komponen dalam filsafat ilmu di atas,
maka pembahasan diarahkan kepada apa etika itu. Disini penulis juga mencoba
mengemukakan term etika yang berkembang di Barat oleh pemikir-pemikir Barat,
seperti George Edward Moore, ia memiliki pengaruh yang cukup besar dalam bidang
etika, ia memfokuska perhatian pada logika argumentasi dan pada keabsahan
bahasa yang dipakai dalam filsafat moral. Dalam bahasa Moore untuk megetahui
apa yang baik ( the good) harus megetahui terlebih dahulu kata baik.
Jadi jelaslah bahwa pertanyaan etika yang palig mendasar adalah masalah hakikat
kebaikan. Lebih lanjut ia megatakan bahwa perbuatan yang benar adalah perbuatan
yang menghasilkan sebanyak mungkin realitas yang baik.
Pemikir kedua yang diungkap penulis dalam bukunya ini ialah Max Scheler
yag megembangkan filsafat etika tetang mausia, persona tentang agama dan
tentang Tuhan. Etika Scheler berakar dalam sebuah pengalaman dasar, pengalaman
aka nilai-nilai formalisme etika, dan
masih banyak lagi, seperti A.J Ayer, Jean-Paul Sartre, Emanuel Levinas,
Joseph Fletcher, Kohlberg, dan Hans Joas.
Dari semua teori yang diajukan oleh para tokoh di atas, Bagi penulis, mereka
semua mewakili ideologi humanisme sekuler, dalam artian, mereka menentang
agama-agama untuk menawarka kekhasannya.
Apakah agama memperkaya etika atau tidak? Inilah akar dari perbedaan
pandang mengenai etika antara Syaikh Yusuf yang ditulis oleh penulis dalam bukuya
ini dengan para pemikir Barat, sehingga hal inilah yang menjadi titik pembahasan
dalam buku ini, dimana Syaikh Yusuf dalam posisiya sebagai sufi, ahli fikih dan
birokrat untuk mengejawantahkan etika religius yang mungkin dan dipastika
berbeda dengan etika konsep Barat.
Sayangnya, dalam buku ini tidak dijelaskan secara terperinci mengenai
filosof Timur ( Islam) yang membahas tentang etika, sehingga disana ada studi
perbandingan diantara kedua golongan tersebut, yang dicatat disini sekedar nama-namanya
saja, seperti ibn Arabi, al-Ghazali, Dzuun al-Mishri dan sebagainya.
Selain itu di sini dijelaskan pula secara singkat mengenai sejarah
tasawwuf dari peiode awal ( masa nabi) dan berlanjut sampai paro pertama abad
IX, periode ii diklasifikasikan kedalam gologan asketis ketimbang para
sufi karena tidak membedakan antara syari’at dan tarekat, dan
mengikuti segala ketetapan beragama pada sisi luarnya, mendasarkan pengetahuan
agamanya semata-mata pada al-Qur’an dan tradisi serta tidak menambahkan dengan
pengalaman sendiri ( hlm. 155)
Peride selanjutnya ialah sufisme doktriner yang terjadi pada masa penyebaran pegetahuan
Yunani, Mesir, Persia, dan India. Yang terjadi pada abad ke IX masehi, disinilah
seperti halnya filsafat Islam, tasawwuf
mendapat pengaruh unsur-usur tersebut, sehigga muncul tokoh yang
megajukan doktrin filsafat dalam tasawwuf
ialah Dzun al-Mishri ( w. 859), dan dikatan pula bahwa perkembagan
sufisme doktriner bermula dan diakhiri oleh Jalaluddin Rumi, seorang Persia.
Selanjutya penulis menyebut al-Ghozali yang pegaruhnya cukup besar dalam
tasawwuf, karena ia melakukan inovasi. Di satu sisi ia mempengaruhi dogma-dogma
agama melalui sufisme dan disisi lain ia memodifikasi sufisme agar cocok denga
dogma-dogma tersebut, sehingga menghasilkan rekonsiliasi diantara keduanya.
Atas jasa al-Ghazali ini sejak saat itu sufisme menguat. Setelah periode al-Ghazali
muncullah tokoh-tokoh yang cukup masyhur seperti Dzunnu al-Mishri, Junaidi
al-Baghdadi, al-Hallaj, Abdul Qadir al-Jailani dan sebagainya.
Setelah megupas secara mendalam mengeai pemikiran para tokoh filsafat Barat mengenai etika, yang disusul
dengan penjelasan secara ringkas kedudukan nilai dalam tasawwuf yang diwakili
oleh beberapa pemikiran tokoh dalam periodenya, maka penulis megarahka masalah
etika religius kepada ketokohan seorang Syaikh Yusuf al-Makassari.
Berkaitan dengan ini, penulis menjelaska bahwa etika religius Syaikh
Yusuf al-Makassari menekankan pentingnya etika individu dalam kaitannya dengan
kehidupan bermasyarakat dan sosial serta tanggung jawab setelah kehidupan masa
depa di alam yang berbeda yaitu alam akhirat. Sehingga kalau kita boleh
menganalisa bahwa konsep etika syaikh yusuf memiliki nilai universal yang mencakup dimensi kemanusiaan sekaligus
juga dimensi ketuhanan. Jujur saja, tatkala mendengara istilah tersebut kita
akan menyambungnya dengan teori hablun min al-nas dan hablun min
allah, dua hal inilah yang menjadi poros dari etika religius yang
dikembangkan oleh Syaikh Yusuf.
Kalau kita boleh mengkritisi bahwa penulis mecoba mendatangkan sosok
Syaikh Yusuf sebagai tokoh yang mampu menjembatani pemikiran yang mengatakan
dunia ini tidak berhubungan dengan akhirat, dunia adalah dunia, sedangka
akhirat ya akhirat, keduanya adalah dua hal yang berbeda yang tidak memiliki
hubungan, dengan pemikiran yang mengatakan bahwa kehidupan akhirat sebagai
sesuatu yang diprioritaskan nomor satu sehingga ia terjerumus pada hal-hal yang
jumud dan menjauhi dunia. Padahal kita tidak bisa menghindari dunia itu sendiri
karena kita sendiri hidup di dunia. Dari sinilah maka pemikiran Syaikh Yusuf
berusaha memformulasikan bagaimana dunia dan akhirat bukan lah dua hal yang
terputus dalam artian tidak memiliki hubungan satu dengan yang lainnya, tapi
keduanya merupakan satu kesatuan jalan yang harus ditempuh oleh manusia dalam
kaitannya sebagai hamba Allah. Maka kita teringat dengan mahfudoh yang
mengatakan bahwa “al-dunya mazraat
al-akhirat” yag kurang lebih saya mengartikan bahwa kehidupa dunia
sebagai ladang/ lahan yang harus dikelolah oleh manusia, karena hal tersebut
menjadi tolak ukur hasil yang akan didapat di akhirat. Jadi ada unsur keberlanjutan di dalamnya.
Mendegar hal di atas, maka yang muncul dalam diri kita ketika melihat
konsep tersebut adalah munculya rasa muraqabah ( merasa diawasi oleh Allah)
dalam setiap tidak tanduk yang akan kita lakukan, hal inilah yang menjadikan
konsekuensi dari teori etika religius Syaikh Yusuf . Maka jiwa profesionalitas
kita terbentuk dalam tataran kesadaran dan aksi kita. Saya tidak bisa
membayangkan jika konsep pemikiran ini diadopsi oleh semua orang yang ada di
dunia ini, karena hal ini akan membwa tatanan kehidupa yag aman, sejahtera,
bebas dari tindak kriminal. Maka apa yang menjadi jargon utama Islam yang mengatakan bahwa Islam adalah
rahmatan lil alamin akan tercipta dalam kondisi seperti ini, dan bukan
sebaliknya yaitu Islam laknatan lil alamin.
C.
Kelebihan-kelebihan Buku
Setelah dikupas sedikit mengenai konten/ isi dari buku Agama dan
Bayang-Bayang Etis Syaikh Yusuf al-Makassari
ini, baik bab per babnya atau tiga bagian yang saya sebutkan di awal. Maka di sini
akan dikupas sedikit mengenai keunggulan buku ini. Saya mendapati bahwa buku
yang dikarang oleh Dr. Mustari ini merupan buku yang unik dalam artian kita
biasanya mendapati buku mengenai ketokohan seseorang dalam pembahasanya hanya
melingkupi paling tidak empat aspek yaitu profil tokoh itu sediri, pemikirannya
dan karya-karyanya, yang terakhir adalah kontribusi atau dampak bagi kehidupan
sosial masyarakatnya. Namun yang unik dalam buku ini ia berusaha menampilkan
sisi/ nilai filosofis dari ketokohan Syaikh Yusuf sendiri, sehingga ini menurut
saya sesuatu yang langka, sehingga menjadi daya tarik tersendiri. Kedua ialah
bahwa bahasa yang digunaka dalam penulisan buku ini cukup gampang dimengerti
baik oleh kalangan akademisi maupun bukan akademisi. Ketiga ialah bahwa
referensi/ literatur yang dipakai/ dirujuk dalam peulisannya buku-buku/
literatur yang memiliki bobot validitas
yang tidak diraguka lagi, bahkan penulisnya merujuk langsung karangan yang
dikarang oleh Syaikh Yusuf sendiri. Dan terakhir adalah penulis sendiri
merupakan orang Makasar asli sehingga ia paling tidak bisa merasakan dan
meyelami sosial budaya kondisi pada waktu itu ( masa Syaik Yusuf) yang nota
benenya orang Makassara juga. Dan jangan kita lupakan juga bahwa tema yang diambil adalah tokoh Nusantara yang tidak
hanya memiliki spesifikasi satu keilmuan saja, tapi berbagai cabang keilmuan,
bahkan ia memiliki pegaruh yang tidak hanya di Nusantara saja tapi juga Afrika,
dan Srilangka.
D.
Kelemahan-kelemahan Buku
Selain beberapa keuggulan di atas, dalam membaca buku ini pun saya
mencatat ada hal-hal yang menurut saya menjadi kelemahan. Pertama, di
buku ini tidak disebutkan secara spesifik guru atau tokoh yang mempengaruhi
Syaikh Yusuf Al-Makassari dalam konsep teori etika religiusnya. Kedua,
pembahasan pada bab kelima terlalu panjang lebar, sehingga pembahasa menjadi
bias. Ketiga, banyak terjadi pegulangan yang terjadi pada bab ketiga.
0 komentar:
Posting Komentar