Kamis, 17 Januari 2013

“Agama dan Bayang-Bayang Etis Syaikh Yusuf Al-Makassari”

Judul buku      : Agama dan Bayang-Bayang Etis -Syaikh Yusuf al-Makassari
Pengarang       : Dr.  Mustari Mustafa
Tahun terbit     : 2011
Penerbit           : L-kis Yogyakarta
Jumlah halaman: 206 halaman; 14,5 x 21 cm
A.  Tentag Penulis dan Latar Belakang Penulisan
Buku ini merupaka karya bapak Mustari Mustafa , salah satu mahasiswa pascasarjana di Jurusan Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada. Dalam karyanya ini , penulis ingin mengungkap nilai-nilai filosofis dari dakwah dan perilaku kehidupan keagamaan seorang ulama besar nusantara  abad 17 yang oleh pegantar redaksinya disebut dengan lengkap namanya, ialah Syaikh al- Hajj Yusuf Abu al-Mahasin Hadiyatullah al-Taj al- Maqashshari atau yang biasa kita kenal dengan sebutan Syaikh Yusuf al- Makassari. Buku ini setidaknya terdiri dari enam bab yang akan dibahas, yaitu: 1. Bab Pertama, berisi pendahuluan, 2. Bab Kedua,
 yang dibahas adalah biografi Syaikh Yusuf dan karya-karyanya, 3. Bab Ketiga, dikhususkan pada bahasan “Basis etika religius Syaikh Yusuf”, 4. Bab Keempat, fokus kajian diarahkan pada universalisme pesan etis dalam karya Syaikh Yusuf. 5. Bab Kelima, pembahasan yang ada mengenai  “Refleksi Teoritis  Etika Religius Syaikh Yusuf”, dan 6. Bab Keenam,  sebagai penutup, dan tetunya diakhiri oleh daftar pustaka, indeks dan biodata singkat penulis sendiri, namun  secara lebih khusus, pembahasan dalam buku ini ialah seperti yang ditulis dalam halaman kedua setelah halaman judul, yaitu tiga aspek. Pertama, pribadi Syaikh Yusuf al-Makassari. Kedua, etika religius, dan  ketiga, dakwah pembebasan.
B.  Tentang Isi Buku
Untuk memenuhi bagian pertama ( mengenai Syaikh Yusuf al-Makassari) penulis mencoba untuk  menghadirka biografi secara singkat Syaikh Yusuf yang melingkupi, tempat kelahiran , kondisi social, politik da budaya masyarakat sekitarnya ( dalam konteks ini  ialah masyarakat  suku Bugis, Makassar Sulawesi Selatan, dan lebih khusus lagi adalah masyarakat Kerajaan  Goa), jenjang pendidikan atau pengelanaan/ pengembaraan keilmuan ( rihlah dirasiyyah) yang ditempuh oleh Syaikh Yusuf, disebutkan juga mengeai tempat-tempat yang dikunjungi Syaikh Yusuf, tentuya yang memiliki kontribusi dalam pengembangan intelektualitasnya, diantaranya  Banten, Aceh, Yaman, Hijaz, Syiria, dan Turki, selain itu, dipaparkan pula tempat-tempat yang menjadi objek pengabdian Syaikh Yusuf yaitu  Makassar ( kampong halamanya Syaikh Yusuf itu sendiri), Banten ( tempat dimana ia banyak melakuka pengabdian dalam kesultanan Banten, karena diangkat sebagai Mufti, dan banyak melakukan perjuangan melawan colonial Belanda) dan Cape town. Namun dalam hal ini Sri Langka tidak disebut, padahal sebelum pembuangan ke Afrika Selatan selama empat tahun beliau diasingkan ke sekitar daerah tersebut, dalam bagian penutupnya pun penulis menyebut negara tersebut, tapi dalam pembahasan  tempat-tempat yang menjadi lahan pengabdian beliau negara tersebut tidak dimasukkan. Selain hal-hal di atas Penulis juga menuliska guru-guru Syaikh Yusuf , kurang lebih sejumlah 21 nama yag terdaftar, dan puluhan karya Syaikh Yusuf yang dalam bahasa penulis karya-karya tersebut didominasi oleh  dimensi tasawwuf. Dalam hal karya-karya Syaikh Yusuf, penulis banyak merujuk pada buku karangan Tudjimah yang berjudul “ Syaikh Yusuf, Riwayat, dan Ajarannya”.
Selajutnya untuk memenuhi bagian kedua ( Etika Religius) setidaknya kita harus merujuk pada bab ketiga , dimana dibahas  mengeai basis pemikiran etika religius Syaikh Yusuf. Pada kajian ini terlihat corak pemikiran syaikh yusuf yang lebih mengedepankan ajaran tasawwuf yang murni atau dengan bahasa lain disebut  neo–sufisme sebagai anti tesis/ kritik dari ajaran tasawwuf heterodoksnya Hamzah Fansuri dan Syamsuddi al-Sumatrani  yang mengamalkan ajaran wahdah al-wujud. Poin penting yang menjadi fokus dalam kajian bagian ini ialah bagaiamana Saikh Yusuf berusaha menyeimbangkan antara empat aspek yang penting dalam agama Islam, yaitu syriat, tarekat, hakekat, dan makrifat. Namun yang sering kita jumpai ialah betapa seringnya dimensi dzikir disebutkan dalam bahasan ini, hal ini mengindikasikan betapa  pentingnya nilai dzikir menurut Syaikh Yusuf bagi seseorang, lafadz dzikir yang banyak uraiannya ialah mengenai dzikir laa ilaha illallah, yang mana Syaik Yusuf megklasifikasi manusia ketika mengamalka dzikir ini kepada empat gologan, yaitu munafik,  mukmin umum, orang khusus dan  khas al-khas. Ada satu hal penting yang di ajukan oleh Syaikh Yusuf selain hal-hal di atas, yaitu konsep al-Insan al-Kamin, pandangan terakhir ini tampaknya memiliki kesamaan dan bersumber dari pemikiran mistik Ibnu al-Arabi yang kemudian dimatangkan oleh al-Jilli
Sedangka untuk bagian ketiga/ terakhir , setidaknya kita merujuk pada bab keempat dan kelima. Di bab keempat dijelaskan bahwa landasan  etika religius Syaikh Yusuf ialah landasan normatif yang bersumber pada keyakinan dan pegalaman keberagamaan. Etika ini menitikberatkan pada dimensi relasi dan harmonisasi kehidupan manusia dengan sang pencipta berdasarkan suatu pendangan universal dan rasional (lihat hlm 83)
Bab kelima penulis mecoba untuk mengajukan pemikiran-pemikiran Syaikh Yusuf mengenai etika, dimana Syaikh Yusuf dalam hal ini berbeda dengan konsep para filosof Barat. Dalam tataran humanisme contohnya, humanisme yang dibawa oleh syaikh yusuf dan kaum sufi pada umumnya ialah humanisme yang memiliki muatan moral dan wawasan spiritual, sedangkan humanisme Barat adalah humanisme yang kosong akan hal tersebut karena lebih mementingkan peradaban pikir (iptek) dan materi yang pada akhirnya berujung pada dehumanisasi, demoralisasi, dan despiritualisasi ( lihat hlm 110)
Dalam bab kelima ini pula penulis melacak akar geneologi pemikiran para filosof Barat mengenai etika. Namun sebelumya ia menulis mengenai hakikat ilmu yang mejadi pondasi akan etika itu sendiri. Secara umum ilmu dapat diartika sebagai pegetahuan yag didapat melalui proses tertetu yang dinamakan dengan  metode keilmuan. Metode inilah yang membedakan ilmu denga buah pemikiran yang lain. Dengan kata lain, ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menerapakan metode keilmuan. Karena ilmu merupakan sebagian dari pengetahuan, yakni pengetahuan yang memiliki sifat-sifat tertentu maka, ilmu dapat disebut pula  disebut dengan pengetahua keilmuan. Ketika sampai pembahasan ini seolah-olah kita diajak untuk megetahui sejarah keilmuan itu sendiri, sehingga kita terasa harus meinggalkan sejenak pembahasa-pembahasan yang telah kita dalami pada bab-bab sebelumya. Inilah yang menurut saya tidak efektifya pembahasan dalam buku ini, sehingga yang ada hanyalah ketidak fokusan pembahasan, karena begitu melebarnya pembahasan, walaupun saya menyadari bahwa dengan adanya pembahasan tersebut diharapkan pembaca dapat mengetahui secara holistic akar rumput / grass root dari permasalahan etika tersebut.
Seperti dalam pembahasan filsafat pada umumya, maka disini dijelaskan pula mengenai tiga  komponen pokok yang ada dalam filsafat seperti ontology, epistemology, dan aksiologi. Ontology secara gampang dapat diartikan sebagai tentang apa yang ingin diketahui, yaitu pengkajian teori tentang yang ada. Epistemology merupakan pembahasan mengenai bagaiman cara mendapatkan pegetahuan mengenai objek tersebut. Dan yang terakhir adalah aksiologi, yang merupakan pegetahuan tetang nilai yang memberikan penilaian baik atau buruknya suatu tindakan.
Setelah pembahasan mengenai tiga komponen dalam filsafat ilmu di atas, maka pembahasan diarahkan kepada apa etika itu. Disini penulis juga mencoba mengemukakan term etika yang berkembang di Barat oleh pemikir-pemikir Barat, seperti George Edward Moore, ia memiliki pengaruh yang cukup besar dalam bidang etika, ia memfokuska perhatian pada logika argumentasi dan pada keabsahan bahasa yang dipakai dalam filsafat moral. Dalam bahasa Moore untuk megetahui apa yang baik ( the good) harus megetahui terlebih dahulu kata baik. Jadi jelaslah bahwa pertanyaan etika yang palig mendasar adalah masalah hakikat kebaikan. Lebih lanjut ia megatakan bahwa perbuatan yang benar adalah perbuatan yang menghasilkan sebanyak mungkin realitas yang baik.
Pemikir kedua yang diungkap penulis dalam bukunya ini ialah Max Scheler yag megembangkan filsafat etika tetang mausia, persona tentang agama dan tentang Tuhan. Etika Scheler berakar dalam sebuah pengalaman dasar, pengalaman aka nilai-nilai formalisme etika, dan  masih banyak lagi, seperti A.J Ayer, Jean-Paul Sartre, Emanuel Levinas, Joseph Fletcher, Kohlberg, dan Hans Joas.
Dari semua teori yang diajukan oleh para tokoh di atas, Bagi penulis, mereka semua mewakili ideologi humanisme sekuler, dalam artian, mereka menentang agama-agama untuk menawarka kekhasannya.  Apakah agama memperkaya etika atau tidak? Inilah akar dari perbedaan pandang mengenai etika antara Syaikh Yusuf yang ditulis oleh penulis dalam bukuya ini dengan para pemikir Barat, sehingga hal inilah yang menjadi titik pembahasan dalam buku ini, dimana Syaikh Yusuf dalam posisiya sebagai sufi, ahli fikih dan birokrat untuk mengejawantahkan etika religius yang mungkin dan dipastika berbeda dengan etika konsep Barat.
Sayangnya, dalam buku ini tidak dijelaskan secara terperinci mengenai filosof Timur ( Islam) yang membahas tentang etika, sehingga disana ada studi perbandingan diantara kedua golongan tersebut, yang dicatat disini sekedar nama-namanya saja, seperti ibn Arabi, al-Ghazali, Dzuun al-Mishri dan sebagainya.
Selain itu di sini dijelaskan pula secara singkat mengenai sejarah tasawwuf dari peiode awal ( masa nabi) dan berlanjut sampai paro pertama abad IX, periode ii diklasifikasikan kedalam gologan asketis ketimbang para sufi karena tidak membedakan antara syari’at dan tarekat, dan mengikuti segala ketetapan beragama pada sisi luarnya, mendasarkan pengetahuan agamanya semata-mata pada al-Qur’an dan tradisi serta tidak menambahkan dengan pengalaman sendiri ( hlm. 155)
Peride selanjutnya ialah sufisme doktriner  yang terjadi pada masa penyebaran pegetahuan Yunani, Mesir, Persia, dan India. Yang terjadi pada abad ke IX masehi, disinilah seperti halnya filsafat Islam, tasawwuf  mendapat pengaruh unsur-usur tersebut, sehigga muncul tokoh yang megajukan doktrin filsafat dalam tasawwuf  ialah Dzun al-Mishri ( w. 859), dan dikatan pula bahwa perkembagan sufisme doktriner bermula dan diakhiri oleh Jalaluddin Rumi, seorang Persia.
Selanjutya penulis menyebut al-Ghozali yang pegaruhnya cukup besar dalam tasawwuf, karena ia melakukan inovasi. Di satu sisi ia mempengaruhi dogma-dogma agama melalui sufisme dan disisi lain ia memodifikasi sufisme agar cocok denga dogma-dogma tersebut, sehingga menghasilkan rekonsiliasi diantara keduanya. Atas jasa al-Ghazali ini sejak saat itu sufisme menguat. Setelah periode al-Ghazali muncullah tokoh-tokoh yang cukup masyhur seperti Dzunnu al-Mishri, Junaidi al-Baghdadi, al-Hallaj, Abdul Qadir al-Jailani dan sebagainya.
Setelah megupas secara mendalam mengeai pemikiran para tokoh  filsafat Barat mengenai etika, yang disusul dengan penjelasan secara ringkas kedudukan nilai dalam tasawwuf yang diwakili oleh beberapa pemikiran tokoh dalam periodenya, maka penulis megarahka masalah etika religius kepada ketokohan seorang Syaikh Yusuf al-Makassari.
Berkaitan dengan ini, penulis menjelaska bahwa etika religius Syaikh Yusuf al-Makassari menekankan pentingnya etika individu dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat dan sosial serta tanggung jawab setelah kehidupan masa depa di alam yang berbeda yaitu alam akhirat. Sehingga kalau kita boleh menganalisa bahwa konsep etika syaikh yusuf memiliki nilai universal  yang mencakup dimensi kemanusiaan sekaligus juga dimensi ketuhanan. Jujur saja, tatkala mendengara istilah tersebut kita akan menyambungnya dengan teori hablun min al-nas dan hablun min allah, dua hal inilah yang menjadi poros dari etika religius yang dikembangkan oleh Syaikh Yusuf.
Kalau kita boleh mengkritisi bahwa penulis mecoba mendatangkan sosok Syaikh Yusuf sebagai tokoh yang mampu menjembatani pemikiran yang mengatakan dunia ini tidak berhubungan dengan akhirat, dunia adalah dunia, sedangka akhirat ya akhirat, keduanya adalah dua hal yang berbeda yang tidak memiliki hubungan, dengan pemikiran yang mengatakan bahwa kehidupan akhirat sebagai sesuatu yang diprioritaskan nomor satu sehingga ia terjerumus pada hal-hal yang jumud dan menjauhi dunia. Padahal kita tidak bisa menghindari dunia itu sendiri karena kita sendiri hidup di dunia. Dari sinilah maka pemikiran Syaikh Yusuf berusaha memformulasikan bagaimana dunia dan akhirat bukan lah dua hal yang terputus dalam artian tidak memiliki hubungan satu dengan yang lainnya, tapi keduanya merupakan satu kesatuan jalan yang harus ditempuh oleh manusia dalam kaitannya sebagai hamba Allah. Maka kita teringat dengan mahfudoh yang mengatakan bahwa  “al-dunya mazraat al-akhirat” yag kurang lebih saya mengartikan bahwa kehidupa dunia sebagai ladang/ lahan yang harus dikelolah oleh manusia, karena hal tersebut menjadi tolak ukur hasil yang akan didapat di akhirat.  Jadi ada unsur keberlanjutan di dalamnya.   
Mendegar hal di atas, maka yang muncul dalam diri kita ketika melihat konsep tersebut adalah munculya rasa muraqabah ( merasa diawasi oleh Allah) dalam setiap tidak tanduk yang akan kita lakukan, hal inilah yang menjadikan konsekuensi dari teori etika religius Syaikh Yusuf . Maka jiwa profesionalitas kita terbentuk dalam tataran kesadaran dan aksi kita. Saya tidak bisa membayangkan jika konsep pemikiran ini diadopsi oleh semua orang yang ada di dunia ini, karena hal ini akan membwa tatanan kehidupa yag aman, sejahtera, bebas dari tindak kriminal. Maka apa yang menjadi jargon utama Islam  yang mengatakan bahwa Islam adalah rahmatan lil alamin akan tercipta dalam kondisi seperti ini, dan bukan sebaliknya yaitu Islam laknatan lil alamin.
C.  Kelebihan-kelebihan Buku
Setelah dikupas sedikit mengenai konten/ isi dari buku Agama dan Bayang-Bayang Etis  Syaikh Yusuf al-Makassari ini, baik bab per babnya atau tiga bagian yang saya sebutkan di awal. Maka di sini akan dikupas sedikit mengenai keunggulan buku ini. Saya mendapati bahwa buku yang dikarang oleh Dr. Mustari ini merupan buku yang unik dalam artian kita biasanya mendapati buku mengenai ketokohan seseorang dalam pembahasanya hanya melingkupi paling tidak empat aspek yaitu profil tokoh itu sediri, pemikirannya dan karya-karyanya, yang terakhir adalah kontribusi atau dampak bagi kehidupan sosial masyarakatnya. Namun yang unik dalam buku ini ia berusaha menampilkan sisi/ nilai filosofis dari ketokohan Syaikh Yusuf sendiri, sehingga ini menurut saya sesuatu yang langka, sehingga menjadi daya tarik tersendiri. Kedua ialah bahwa bahasa yang digunaka dalam penulisan buku ini cukup gampang dimengerti baik oleh kalangan akademisi maupun bukan akademisi. Ketiga ialah bahwa referensi/ literatur yang dipakai/ dirujuk dalam peulisannya buku-buku/ literatur  yang memiliki bobot validitas yang tidak diraguka lagi, bahkan penulisnya merujuk langsung karangan yang dikarang oleh Syaikh Yusuf sendiri. Dan terakhir adalah penulis sendiri merupakan orang Makasar asli sehingga ia paling tidak bisa merasakan dan meyelami sosial budaya kondisi pada waktu itu ( masa Syaik Yusuf) yang nota benenya orang Makassara juga. Dan jangan kita lupakan juga bahwa tema yang  diambil adalah tokoh Nusantara yang tidak hanya memiliki spesifikasi satu keilmuan saja, tapi berbagai cabang keilmuan, bahkan ia memiliki pegaruh yang tidak hanya di Nusantara saja tapi juga Afrika, dan Srilangka.
D.  Kelemahan-kelemahan Buku
Selain beberapa keuggulan di atas, dalam membaca buku ini pun saya mencatat ada hal-hal yang menurut saya menjadi kelemahan. Pertama, di buku ini tidak disebutkan secara spesifik guru atau tokoh yang mempengaruhi Syaikh Yusuf Al-Makassari dalam konsep teori etika religiusnya. Kedua, pembahasan pada bab kelima terlalu panjang lebar, sehingga pembahasa menjadi bias. Ketiga, banyak terjadi pegulangan yang terjadi pada bab ketiga.

0 komentar:

Posting Komentar