Bebicara
mengenai agama, seperti yang dikatakan
Dr. Sindhunata dalam pengantar buku Kala Agama jadi Bencana,[1]bagaikan
berbicara tentang paradoks. Alasannya
ialah di satu sisi agama dialami sebagai jalan dan penjamin keselamatan, cinta
dan perdamaian, akan tetapi di sisi yang lain agama sebagai sumber, penyebab
dan alasan bagi kehancuran dan kemalangan atas umat manusia. Peran paradoksial
ini memiliki koherensi yang sangat kuat dengan adanya dualisme fundamental
antara normatifitas suatu agama dengan historisitanya.[2]
Sebagaimana
kita ketahui bahwa tidak ada satupun agama secara normatif di dunia ini yang
mengajarkan keburukan, kebrutalan, ataupun
kekerasan ( violence) yang nantinya berujung pada pengrusakan
atau bahkan pembunuhan. Justru
sebaliknya, agama-agama yang ada di dunia dewasa ini, selalu mengajarkan
kebaikan kepada para penganutnya, seperti Islam dengan ajaran Rahmatan lil
Alamin-nya, Kristen dengan “ Cinta Kasihnya”, Hindu dengan ajaran Tatawwa
Asi, dan Budha dengan ajaran Catur Paramitha-nya. Namun demikian,
secara sosiologis agama tidak dapat dipungkiri telah banyak menyebabkan terjadi
konflik dan kekerasan.
Dari
sini lah tulisan ini berangkat, mengapa agama yang sejatinya mengajarkan
niilai-nilai kebaikan kini berubah menjadi momok yang menakutkan dengan serangkaian
kejadian yang memilukan, sehingga membawa kita untuk mempertanyakan kembali apa
itu agama? mengapa kekerasan /konflik atas nama agama itu terjadi? dan
Bagaimana penyelesaiannya? Di sinilah kami akan menguraikan satu persatu,
dimulai dari definisi agama dan factor-faktor apa saja yang melatarbelakangi
terjadinya kekerasan atas nama agama ini serta memberi solusi terhadap konflik
atas nama agama tersebut.
A. Agama
sebagai normatifitas dan historisitas
Agama
secara sederhana diartikan sebagai seperangkat
aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib,
khususnya tuhannya, mengatur manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur
manusia dengan lingkungannya.[3]
Dari
definisi di atas, sebenarnya agama masih
dilihat sebagi teks atau doktrin, sehingga keterlibatan manusia sebagai
pendukung atau penganut agama tersebut tidak tampak di dalamnya. Itulah sebabnya masalh-maslah yang berkenaan
dengan kehidupan keagamaan ( secara empiric), baik individual maupun kelompok,
perbedaan pengetahuan dan keyakinan, peranan keyakinan keagamaan terhadap
kehidupan dan sebaliknya, kelestarian dan perubahan keyakinan keagamaan yang
terjadi tidak tercakup di dalamnya.[4]
Maka
dengan memperhatikan masalah-masalah di atas, agama menurut Parsuadi ( 1988) dapat didefinisikan:
Suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang
diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan
memberi respon terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan
suci.[5]
Dalam
pengertian terakhir ini factor pemeluk agama menjadi sangat jelas, karena agama
merupakan hasil interpretasi dan respon masyarakat terhadap ajaran-ajaran suci
dari Tuhan.
Agama
memang mengalami perubahan-perubahan, tetapi yang berubah adalah
tradisi-tradisi keagamaan dan system
keyakinan keagamaan, sedangkan doktrin dan teks agama itu sendiri, sebagaimana
yang tertuang dalam kitab suci tidak
berubah. Perubahan keyakinan keagamaan, disebabkan oleh adanya perbedaan
interpretasi oleh penganut agama tersebut secara berlainan.[6]
Maka tak heran jika di dunia ini ekspresi kegamaan muncul beragam, ada yang
formalis-eksremis , radikalis ,substansialis-humanis dan lain sebagainya.
B. Kekerasan
atas nama agama
Dalam
wacana kontemporer, kekerasan biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
dengan violence, violence berkaitan dengan gabungan kata Latin vis ( daya, kekutan) dan latus
(membawa) yang kemudian berarti membawa kekuatan.[7]
Kekerasan juga sering diartikan sebagi sifat atau hal yang keras, kekuatan ;
paksaan.sedangkan paksaan berarti tekanan, desakan yang keras. Sehiungga
kekerasan berarti membawa kekuatan, paksaan
dan tekanan. Kekerasan bisa terjadi jika manusia dipengaruhi sedemikian
rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi
potensialnya.
Pada
saat ini orang banyak melihat kekerasan sudah membudaya, hal ini menujukan
secara perlahan hubungan antar kelompok manusia tidak hanya diwarnai denagan
eskalasi kekerasan tetapi juga sofistikasi kekerasan. Persoalan ini menjadi
rumit ketika masuk dalm praktik-praktik dengan legitimasi etika-religius atau
penggunaan idiom-idiom agama demi ambisi yang non religius.
Hampir
tidak didapatkan suatu asumsi yang membenarkan adanya kekerasan yang bersifat
keagamaan. Bahkan contoh yang biasa diutarakan untuk mendeskripsikan kekerasan
semisal perang salib, ditampik sebagai kekerasan yang bertolak dari persoalan
agama. agama dan kekerasan adalah dua persoalan yang saling menegasikan dan
tidak mungkin dikonvergensikan dalam satu bentuk pemahaman yang utuh. Tentunya
kita berfikir keras mengapa terjadi kekrasan atas nama agama, sedangkan agama
sendiri menegasikan kekerasan itu sendiri?
Dalam
kaitannya dengan pertanyaan di atas, seyogyanya kita perlu merujuk apa yang di
catat oleh Kimball. Ia menjelaskan bahwa tanda-tanda kerusakan agama (dilihat
secara pengertian histories) yang akhirnya menimbulkan konflik dan kekerasan,
setidaknya dilatarbelakangi oleh lima factor. Pertama, bila suatu agama
mengklaim kebenaran agamnya sebagai kebenaran yang mutlak dan satu-satunya.[8]dalam
setiap agama, klaim kebenaran merupakan pondasi yang mendasari keseluruhan
struktur agama. namun, ketika interpretasi tertentu atas klaim tersebut memjadi
proposisi-proposisi yang menuntut kebenaran pembenaran tunggal dan diperlakukan
sebagai doktrin kaku, kecenderungan terhadap penyelewengan dalam agama itu
muncul dengan mudah.[9]
Bahkan keyakinan-keyakinan yang bertolak sari truth claim tentunya berimplikasi pada religiusitas
soliptisime yang akan terus bergerak pada pencapaian peniadaan kelompok
keyakinan dan agama lain.[10]
Contoh kekerasan model ini ialah
pembantaian 400 ribu umat muslim sendiri oleh Wahabi yang terjadi pada tahun
1920-an dalam penaklukan jazirah Arab.[11]kedua,ketaatan
buta kepada pemimpin keagamaan mereka. Kesetian buta merupakan suatu tanda yang
pasti tentang agama yang rusak. Karena ia membatasi kebebasan intelektual dan
intregitas individu pengikutnya. Ketika para penganut individual mengabaikan
tanggung jawabnya pribadi dan mengabdi pada otoritas pemimpin karismatik atau
diperbudak oleh gagasan-gagasan atau ajaran tertentu, agama itu dapat dengan
mudah menjadi kerangka kekerasan dan kerusakan.[12]
Contoh dari gerakan keagamaan ini ialah
gerakan Aum Shinrikyo pimpinan Asahara
Shoko di jepang ( tahun 1990-an) dalam sejarahnya gerakan ini menewaskan 12 orang dan melukai 500-an orang.[13]
ketiga, agama mulai gandrung merindukan zaman ideal, kemudian para
penganutnya bertekad merealisasikannya ke dalam zaman sekarang. Banyak contoh
kasusnya , seperti gerakan Thaliban di Afganistan, New Religion Right di
Amerika,[14]
dan kelompok-kelompok agama militan lainnya. Keempat, apabila agama
tersebut membenarkan dan membiarkan terjadinya
“ tujuan yang membenarkan cara”, atau dengan kata lain tujuannya
menghalalkan cara. Contoh dari peristiwa ini adalah terjadinya konflik antara
mayoritas umat Hindu dan minoritas umat Islam di India pada tahun 2002, yang
menewaskan ratusan bahkan ribuan umat keduanya.[15]
Kelima, menyerukan perang suci.
Contoh dari kasus ini adalah perang salib dan perang melawan terorisme pasca
serangan 11 september.[16]
C. Soulsi
terhadap merebaknya konflik/ kekerasan atas nama agama
Setelah
kita sajikan factor apa yang merusakkan agama atau factor yang
melatarbelakangi terjadinya kekerasan atas nama agama , di sini tiba saatnya
kami memunculkan jalan keluar/ solusi atas permasalahan tersebut, diantaranya:
1.
Setiap agama wajib untuk menggali sumber-sumber dan riwayat hidupnya yang autentik, dimana mereka bisa dan pernah
menjadi agen-agen perdamaian[17]
2.
Seimbang dalam fanatisme dan toleransi
3.
Penggunaan forsi yang seimbang dalam memahami agama antara
wahyu/kitab dan akal.
4.
Dialog antar agama
5.
Adanya dukungan kuat dari pemerintah dalam upaya menjaga kerukunan
antar umat beragama.
D. Kesimpulan
Agama
diyakini sebagai seperangkat norma/doctrinal yang mengatur kehidupan makhluk
dan Sang Khaliknya, begitu pula sesama makhlukNya. Agama seperti di jelaskan di
awal, bahhwa ia memiliki dua wajah, yaitu wajah pertama yang bersifat normative
dan wajah kedua yang bersifat histories. Dalam perkembangannya wajah yang
pertama bersifat tetap dan mutlak, sedang wajah yang kedua berubah-ubah sesuai
dengan interpretasi penganutnya terhadap wajah yang pertam, sehingga tak jarang
timbul perbedaan diantara penganutnya, disebabkan oleh factor social, politik,
dan kebudayaan yang melingkupinya.
Perbedaan
interpretasi tak sedikit yang menyisahkan konflik baik dalam intern suatu agama
itu sendiri ataupun dengan agama lain, karena ada bias yang menyelimutinya.
Dikatakan oleh kimbal setidaknya ada lima factor yang merusakkan agama, yang
apabila kita telisik lebih jauh bahwa konflik yang terjadi bukan disebabkan
oleh agama itu sendiri, melainkan kepentingan
dari segelintir orang yang ada di
baliknya.
Sudah
saatnya lah kita menyadari akan pentingnya hidup berdamai dan berdampingan
dengan keragamaan agama dan kepercayaan yang ada karena itu merupaka realitas
yang benar-benar ada di sekitar kita, tentunya dengan menjunjung nilai
kemanusiaan (humanis), dan toleran terhadap yang lain dengan tanpa mengabaikan
akan kewajiban keagamaan masing-masing.
Daftar pustaka
Kimball, Charles. Kala Agama Jadi Bencana.terj. Nurhadi.
Bandung: PT Mizan Pustaka,2003.
Syamsul Arifin “ Memahami Kekerasan atas Nama Agama” dalam Sugiono,
Sugeng (ed). Menguak Sisi-sisi Khazanah Peradaban Islam. Yogyakarta:
Adab Press, 2008.
Shaleh, Abdul
Qodir. Agama Kekerasan. Sleman: Primasophie, 2003
TIM. Islam
dan Budaya Lokal. Yogyakarta: pokja, 2005
Wahid, Abdurrahman. Ilusi Negara Islam ( Eksapansi Gerakan Islam
Transnasional di Indonesia). Jakarta: The Wahid Institut, 2009.
[1]
Charles
Kimball, Kala Agama Jadi Bencana, terj. Nurhadi, (Bandung: PT Mizan
Pustaka, 2003). hlm. 13.
[2]
Syamsul Arifin
“ Memahami Kekerasan atas Nama Agama” dalam Sugeng Sugiono, (ed). Menguak
Sisi-sisi Khazanah Peradaban Islam. (Yogyakarta: Adab Press, 2008), hlm.
190.
[4]
Ibid, hlm. 4.
[5]
Ibid, hlm. 5.
[6]
Ibid, hlm. 7.
[7]
Syamsul, “ Memahami” , hlm. 189.
[8]
Kimball, Kala
Agama, hlm. 15
[9]
Ibid, hlm 84.
[11]Abdurrahman
Wahid, Ilusi Negara Islam ( Eksapansi Gerakan Islam Transnasional di
Indonesia). (Jakarta: The Wahid Institut, 2009), hlm. 96.
[12]Kimball, Kala
Agama, hlm. 127.
[13]
Ibid, hlm 125
[14]Kimball, Kala
Agama, hlm. 185.
[15]
Ibid, hlm. 197
[16]
Ibid, hlm. 234
[17]
Ibid, hlm. 21
0 komentar:
Posting Komentar