Jumat, 08 Maret 2013

Kekerasan Atas Nama Agama ( Sebuah Paradoks)


      Bebicara mengenai agama, seperti yang dikatakan  Dr. Sindhunata dalam pengantar buku Kala Agama jadi Bencana,[1]bagaikan berbicara  tentang paradoks. Alasannya ialah di satu sisi agama dialami sebagai jalan dan penjamin keselamatan, cinta dan perdamaian, akan tetapi di sisi yang lain agama sebagai sumber, penyebab dan alasan bagi kehancuran dan kemalangan atas umat manusia. Peran paradoksial ini memiliki koherensi yang sangat kuat dengan adanya dualisme fundamental antara normatifitas suatu agama dengan historisitanya.[2]  
Sebagaimana kita ketahui bahwa tidak ada satupun agama secara normatif di dunia ini yang mengajarkan keburukan, kebrutalan, ataupun  kekerasan ( violence) yang nantinya berujung pada pengrusakan atau bahkan pembunuhan.  Justru sebaliknya, agama-agama yang ada di dunia dewasa ini, selalu mengajarkan kebaikan kepada para penganutnya, seperti Islam dengan ajaran Rahmatan lil Alamin-nya, Kristen dengan “ Cinta Kasihnya”, Hindu dengan ajaran Tatawwa Asi, dan Budha dengan ajaran Catur Paramitha-nya. Namun demikian, secara sosiologis agama tidak dapat dipungkiri telah banyak menyebabkan terjadi konflik dan kekerasan.
      Dari sini lah tulisan ini berangkat, mengapa agama yang sejatinya mengajarkan niilai-nilai kebaikan kini berubah menjadi momok yang menakutkan dengan serangkaian kejadian yang memilukan, sehingga membawa kita untuk mempertanyakan kembali apa itu agama? mengapa kekerasan /konflik atas nama agama itu terjadi? dan Bagaimana penyelesaiannya? Di sinilah kami akan menguraikan satu persatu, dimulai dari definisi agama dan factor-faktor apa saja yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan atas nama agama ini serta memberi solusi terhadap konflik atas nama agama tersebut.

A.  Agama sebagai normatifitas dan historisitas
Agama secara sederhana diartikan sebagai  seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya tuhannya, mengatur manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur manusia dengan lingkungannya.[3]
Dari definisi di atas, sebenarnya  agama masih dilihat sebagi teks atau doktrin, sehingga keterlibatan manusia sebagai pendukung atau penganut agama tersebut tidak tampak di dalamnya.  Itulah sebabnya masalh-maslah yang berkenaan dengan kehidupan keagamaan ( secara empiric), baik individual maupun kelompok, perbedaan pengetahuan dan keyakinan, peranan keyakinan keagamaan terhadap kehidupan dan sebaliknya, kelestarian dan perubahan keyakinan keagamaan yang terjadi tidak tercakup di dalamnya.[4]
Maka dengan memperhatikan masalah-masalah di atas, agama menurut Parsuadi  ( 1988) dapat didefinisikan:
Suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi respon terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci.[5]

Dalam pengertian terakhir ini factor pemeluk agama menjadi sangat jelas, karena agama merupakan hasil interpretasi dan respon masyarakat terhadap ajaran-ajaran suci dari Tuhan.
Agama memang mengalami perubahan-perubahan, tetapi yang berubah adalah tradisi-tradisi keagamaan  dan system keyakinan keagamaan, sedangkan doktrin dan teks agama itu sendiri, sebagaimana yang tertuang dalam kitab suci  tidak berubah. Perubahan keyakinan keagamaan, disebabkan oleh adanya perbedaan interpretasi oleh penganut agama tersebut secara berlainan.[6] Maka tak heran jika di dunia ini ekspresi kegamaan muncul beragam, ada yang formalis-eksremis , radikalis ,substansialis-humanis dan lain sebagainya.

B.  Kekerasan atas nama agama
Dalam wacana kontemporer, kekerasan biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan violence, violence berkaitan dengan gabungan kata  Latin vis ( daya, kekutan) dan latus (membawa) yang kemudian berarti membawa kekuatan.[7] Kekerasan juga sering diartikan sebagi sifat atau hal yang keras, kekuatan ; paksaan.sedangkan paksaan berarti tekanan, desakan yang keras. Sehiungga kekerasan berarti membawa kekuatan, paksaan  dan tekanan. Kekerasan bisa terjadi jika manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya.
Pada saat ini orang banyak melihat kekerasan sudah membudaya, hal ini menujukan secara perlahan hubungan antar kelompok manusia tidak hanya diwarnai denagan eskalasi kekerasan tetapi juga sofistikasi kekerasan. Persoalan ini menjadi rumit ketika masuk dalm praktik-praktik dengan legitimasi etika-religius atau penggunaan idiom-idiom agama demi ambisi yang non religius.
Hampir tidak didapatkan suatu asumsi yang membenarkan adanya kekerasan yang bersifat keagamaan. Bahkan contoh yang biasa diutarakan untuk mendeskripsikan kekerasan semisal perang salib, ditampik sebagai kekerasan yang bertolak dari persoalan agama. agama dan kekerasan adalah dua persoalan yang saling menegasikan dan tidak mungkin dikonvergensikan dalam satu bentuk pemahaman yang utuh. Tentunya kita berfikir keras mengapa terjadi kekrasan atas nama agama, sedangkan agama sendiri menegasikan kekerasan itu sendiri?
Dalam kaitannya dengan pertanyaan di atas, seyogyanya kita perlu merujuk apa yang di catat oleh Kimball. Ia menjelaskan bahwa tanda-tanda kerusakan agama (dilihat secara pengertian histories) yang akhirnya menimbulkan konflik dan kekerasan, setidaknya dilatarbelakangi oleh lima factor. Pertama, bila suatu agama mengklaim kebenaran agamnya sebagai kebenaran yang mutlak dan satu-satunya.[8]dalam setiap agama, klaim kebenaran merupakan pondasi yang mendasari keseluruhan struktur agama. namun, ketika interpretasi tertentu atas klaim tersebut memjadi proposisi-proposisi yang menuntut kebenaran pembenaran tunggal dan diperlakukan sebagai doktrin kaku, kecenderungan terhadap penyelewengan dalam agama itu muncul dengan mudah.[9] Bahkan keyakinan-keyakinan yang bertolak sari truth claim  tentunya berimplikasi pada religiusitas soliptisime yang akan terus bergerak pada pencapaian peniadaan kelompok keyakinan dan agama lain.[10] Contoh kekerasan  model ini ialah pembantaian 400 ribu umat muslim sendiri oleh Wahabi yang terjadi pada tahun 1920-an dalam penaklukan jazirah Arab.[11]kedua,ketaatan buta kepada pemimpin keagamaan mereka. Kesetian buta merupakan suatu tanda yang pasti tentang agama yang rusak. Karena ia membatasi kebebasan intelektual dan intregitas individu pengikutnya. Ketika para penganut individual mengabaikan tanggung jawabnya pribadi dan mengabdi pada otoritas pemimpin karismatik atau diperbudak oleh gagasan-gagasan atau ajaran tertentu, agama itu dapat dengan mudah menjadi kerangka kekerasan dan kerusakan.[12] Contoh dari  gerakan keagamaan ini ialah gerakan Aum Shinrikyo pimpinan Asahara  Shoko di jepang ( tahun 1990-an) dalam sejarahnya gerakan ini  menewaskan 12 orang dan melukai 500-an orang.[13] ketiga, agama mulai gandrung merindukan zaman ideal, kemudian para penganutnya bertekad merealisasikannya ke dalam zaman sekarang. Banyak contoh kasusnya , seperti gerakan Thaliban di Afganistan, New Religion Right di Amerika,[14] dan kelompok-kelompok agama militan lainnya. Keempat, apabila agama tersebut membenarkan dan membiarkan terjadinya  “ tujuan yang membenarkan cara”, atau dengan kata lain tujuannya menghalalkan cara. Contoh dari peristiwa ini adalah terjadinya konflik antara mayoritas umat Hindu dan minoritas umat Islam di India pada tahun 2002, yang menewaskan ratusan bahkan ribuan umat keduanya.[15]  Kelima, menyerukan perang suci. Contoh dari kasus ini adalah perang salib dan perang melawan terorisme pasca serangan 11 september.[16]  
C.  Soulsi terhadap merebaknya konflik/ kekerasan atas nama agama
Setelah kita sajikan factor apa yang merusakkan agama atau factor yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan atas nama agama , di sini tiba saatnya kami memunculkan jalan keluar/ solusi atas permasalahan tersebut, diantaranya:
1.    Setiap agama wajib untuk menggali sumber-sumber dan riwayat hidupnya  yang autentik, dimana mereka bisa dan pernah menjadi agen-agen perdamaian[17]
2.    Seimbang dalam fanatisme dan toleransi
3.    Penggunaan forsi yang seimbang dalam memahami agama antara wahyu/kitab dan akal. 
4.    Dialog antar agama
5.    Adanya dukungan kuat dari pemerintah dalam upaya menjaga kerukunan antar umat beragama.
D.  Kesimpulan
Agama diyakini sebagai seperangkat norma/doctrinal yang mengatur kehidupan makhluk dan Sang Khaliknya, begitu pula sesama makhlukNya. Agama seperti di jelaskan di awal, bahhwa ia memiliki dua wajah, yaitu wajah pertama yang bersifat normative dan wajah kedua yang bersifat histories. Dalam perkembangannya wajah yang pertama bersifat tetap dan mutlak, sedang wajah yang kedua berubah-ubah sesuai dengan interpretasi penganutnya terhadap wajah yang pertam, sehingga tak jarang timbul perbedaan diantara penganutnya, disebabkan oleh factor social, politik, dan kebudayaan yang melingkupinya.
Perbedaan interpretasi tak sedikit yang menyisahkan konflik baik dalam intern suatu agama itu sendiri ataupun dengan agama lain, karena ada bias yang menyelimutinya. Dikatakan oleh kimbal setidaknya ada lima factor yang merusakkan agama, yang apabila kita telisik lebih jauh bahwa konflik yang terjadi bukan disebabkan oleh agama itu sendiri, melainkan kepentingan  dari segelintir orang yang ada di  baliknya.
Sudah saatnya lah kita menyadari akan pentingnya hidup berdamai dan berdampingan dengan keragamaan agama dan kepercayaan yang ada karena itu merupaka realitas yang benar-benar ada di sekitar kita, tentunya dengan menjunjung nilai kemanusiaan (humanis), dan toleran terhadap yang lain dengan tanpa mengabaikan akan kewajiban keagamaan masing-masing.       

Daftar pustaka
Kimball, Charles. Kala Agama Jadi Bencana.terj. Nurhadi. Bandung: PT Mizan Pustaka,2003.
Syamsul Arifin “ Memahami Kekerasan atas Nama Agama” dalam Sugiono, Sugeng (ed). Menguak Sisi-sisi Khazanah Peradaban Islam. Yogyakarta: Adab Press, 2008.
Shaleh, Abdul Qodir. Agama Kekerasan. Sleman: Primasophie, 2003
TIM. Islam dan Budaya Lokal. Yogyakarta: pokja, 2005
Wahid, Abdurrahman. Ilusi Negara Islam ( Eksapansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia). Jakarta: The Wahid Institut, 2009.


[1] Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana, terj. Nurhadi, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2003). hlm.  13.
[2] Syamsul Arifin “ Memahami Kekerasan atas Nama Agama” dalam Sugeng Sugiono, (ed). Menguak Sisi-sisi Khazanah Peradaban Islam. (Yogyakarta: Adab Press, 2008), hlm. 190.
[3] TIM. Islam dan Budaya Lokal, (Yogyakarta: pokja, 2005), hlm. 4.
[4] Ibid, hlm. 4.
[5] Ibid, hlm. 5.
[6] Ibid, hlm. 7.
[7] Syamsul,  “ Memahami” , hlm. 189.
[8] Kimball, Kala Agama, hlm.  15
[9] Ibid, hlm 84.
[10] Abdul Qodir Shaleh, Agama Kekerasan, (Sleman: Primasophie, 2003), hlm. 47.
[11]Abdurrahman Wahid, Ilusi Negara Islam ( Eksapansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia). (Jakarta: The Wahid Institut, 2009), hlm. 96.
[12]Kimball, Kala Agama, hlm. 127.
[13] Ibid, hlm 125
[14]Kimball, Kala Agama, hlm. 185.
[15] Ibid, hlm. 197
[16] Ibid, hlm. 234
[17] Ibid, hlm. 21

0 komentar:

Posting Komentar